Friday, December 2, 2016

Kisahku di Jembatan Gondolayu

Jembatan Gondolayu. Salah satu jembatan di kota Jogja yang membentang di atas kali code ini memiliki kisah tersendiri. Menurut cerita nenekku dulu berasal dari kata nggondhol ‘melarikan, membawa’ dan ayu ‘cantik, ayu’. Karena pada masa lalu jembatan ini sering digunakan untuk bunuh diri para gadis yang putus asa (biasanya karena persoalan cinta). Menurut mereka jembatan ini pada masa lalu sering menggondol nyawa para gadis cantik.

Dan masih menurut orang-orang juga, beberapa tahun terakhir ini disetiap bulan April selalu saja terjadi kejadian mengenaskan yang memakan korban. Entah itu kecelakaan antar kendaraan, tabrak lari, hingga kasus seorang yang terjun dari jembatan.

Dan malam ini, di bulan April ini aku disini sendirian, terpaksa! Sudah 2 jam lamanya aku berdiri disini, sesekali mondar mandir mengukur sepanjang jembatan ini. Kulirik arlojiku, jam 02 lewat. Pantas sudah semakin jarang saja ada kendaraan yang melewati jembatan ini. Maklum, mungkin karena beredar isu adanya arwah gentayangan yang sering wira wiri di sepanjang jembatan ini beberapa tahun lalu membuat para pengendara itu enggan melewati jembatan ini dan lebih memilih alternatif jalan lain meskipun harus melewati rute yang lebih jauh.

Tapi sebenarnya buat aku sendiri, aku tidak terlalu takut dengan adanya penampakan hantu, entah kenapa aku sendiri juga tidak tahu. Aku lebih takut jika tiba-tiba ada preman yang malak di daerah ini, karena aku mempunyai pengalaman buruk tentang itu. Aku bahkan pernah tertusuk pisau di bagian perutku, saat itu seketika aku pingsan. Dan selanjutnya? Aku tidak tahu pasti. Yang pasti rasa trauma itu masih menghantui melebihi rasa takutku ditemui hantu.

Tiba-tiba dari arah barat, dari kejauhan kulihat sebuah sepeda motor berjalan melambat kemudian berhenti di tepi jembatan. Seorang yang dibonceng turun dan membuka helm, ternyata seorang perempuan cantik dengan dandanan menor khas mbak-mbak yang sering ngider di sarkem. Tak lama berselang si pengendara motor pun ikut turun sembari membuka helm.

Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang menemaniku. Meski sedikit sebal melihat kemesraan mereka tapi paling tidak keberadaan mereka lumayan mengurangi perasaan takutku. Keberadaan mereka berdua sedikit banyak mencuri perhatianku untuk sering-sering menoleh ke arah mereka… huft menyaksikan drama kemesraan mereka yang makin lama makin… lho.. lho.. kok? Wah, sudah keterlaluan ini, mentang-mentang sepanjang jalan ini sepi, kelakuan mereka makin menjadi. Bukannya iri atau cemburu, tapi rasa keimananku terusik saat melihat mereka berlaku kelewat batas.

Mungkin karena jarak mereka dariku yang lumayan jauh ditambah penerangan lampu jalan yang temaram membuat mereka tidak menyadari bahwa ada seseorang sedang berdiri di sini dan menyaksikan adegan maksiat mereka. Perlahan aku mendekat pada mereka. Dan, oh… no… mataku hampir-hampir keluar melihat perempuan itu mengangkat rok sampai ke pangkal paha.

“sedang apa kalian disini?” hardikku pada mereka. Sontak mereka berdua kaget setengah mati sembari menoleh ke arahku.

“Aaagh…” perempuan itu histeris saat melihatku. Dengan tiba-tiba ia berlari ke arah tengah jembatan, dan dengan tiba-tiba pula… “chiiit… braakh…” sebuah pic up yang sedang melaju kencang menabrak tubuh perempuan itu dan terhempas hingga beberapa meter dari asal ia berdiri.

Si lelaki ketakutan bukan main dan cepat-cepat menstarter kendaraan secepat kilat pergi dari tempat ini, tentunya dengan bertelanjang dada. Tapi.. ah… aku tidak ambil pusing dengan keadaan lelaki itu. Aku berlari ke tengah jembatan. Mengerikan, kepala perempuan itu pecah dengan darah yang tak henti-henti mengucur membasahi jalan aspal. Supir pic up kemudian turun dan terlihat panik, tak berbeda jauh dengan sang kenek.

“waduh… men. Kita nabrak orang?!” kata supir dengan nada penuh kepanikan.
“nah… benar kan bang, aku kata apa? Udah ambil jalan lain aja jangan lewat jembatan ini” jawab sang kenek bernada menggurui.

Dalam hitungan menit saja jembatan yang tadinya sepi mampring mendadak hiruk pikuk dengan ramainya orang yang berebut mendekat menyaksikan jasad perempuan malang itu dari dekat. Bahkan beberapa pengendara yang tak sengaja melintas jembatan ini sengaja memarkir kendaraannya di pinggir jembatan dan menyempatkan diri berselfie ria sebagai bahan status mereka di medsos besok. Astaghfirullah.

Tak lama berselang petugas ambulan datang dan mengusung jenazah mengenaskan itu. Tapi, haah?!… berulang kali aku mengusap mataku seperti tidak percaya, perempuan itu keluar menembus pintu ambulan yang sudah tertutup kemudian berjalan ke arahku. Akibat benturan hebat tadi membuat kepala perempuan itu retak dan mata kirinya menonjol kep ermukaan hampir terlepas hingga bola matanya terlihat seutuhnya.


Kisahku di Jembatan Gondolayu

Dia melotot ke arahku, sorot matanya yang tajam menjelma bak sebilah pedang yang menghunus sampai ke jantung, dan mengoyak-oyak syaraf keberanianku.

“ini semua gara-gara kamu…!” dia berteriak dan mengacungkan telunjuknya ke arahku. Aku terperanjat, sedang perempuan itu semakin mendekat.

“ternyata kau biang keladinya…” ucap perempuan itu, tapi kali ini dengan nada yang sedikit mereda.

“a..a..ku…” aku tercekat, tak bisa berkata-kata. Sementara perempuan itu kini sudah berada tepat di depanku yang membuat aku bergidik dan berasa ingin muntah. Tapi perempuan itu tak bereaksi apapun yang akan mencelakakanku, dia hanya berdiri dan menatap tajam ke arahku.

Tapi aku, karena saking ketakutannya, bukan ketakutan atas penampakan arwah perempuan itu tapi takut dituduh akulah biang keladinya, berlari terbirit-birit dan melupakan alasanku berdiri berjam-jam di atas jembatan itu.

Ya… saat ini aku sedang menunggu mas Adi, tunanganku yang berjanji akan menjemputku sepulangnya dari pesta lajangnya.

Malam ini, karena alasan yang sama aku terpaksa lagi-lagi harus berdiri berjam-jam di atas jembatan Gondolayu yang terkenal angker ini. Dan lagi-lagi pula jam sudah menunjukkan angka 02 lewat. Hatiku was-was, jangan-jangan perempuan tadi malam itu datang lagi?! Tapi apa daya? Demi untuk menepati janji dengan kekasih hatiku, aku rela menunggu disini. Dan perasaan cintaku padanya secara otomatis menjadi pemompa semangatku untuk menepis ketakutanku ini.

Dan malam ini sama seperti malam kemarin, sepi… tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mungkin karena kejadian tadi malam, membuat para pengendara semakin ketakutan jika melawati sepanjang jembatan ini. Tapi, sekonyong-konyong dari arah barat tampak sebuah mobil type MPV berplat W melambat dan merapat di bahu jembatan hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri. Selang beberapa detik pintu mobil terbuka dan turun seorang lelaki berperawakan pendek gendut sekilas tampak seperti bola. Ditambah kulitnya yang coklat gelap semakin menyerupai bola basket.

Lelaki itu berjalan menuju tembok pembatas kemudian tak sungkan-sungkan membuka resleting celananya dan mengeluarkan barang pribadi miliknya. Aku yang menyaksikan dari tadi tidak rela diperlakukan seperti ini. Masa… ada perempuan berdiri di sebelahnya tanpa sungkan dia pipis tanpa permisi. Huft… dasar laki-laki jorok. Sepertinya dia bukan berasal dari Jogja, terlihat dari plat nomor mobilnya.

Aku berjalan mendekat pada lelaki itu, tampaknya dia sama sekali tidak menyadari kehadiranku. Tanpa sungkan pula aku menepuk bahunya dan menghardiknya “jangan buang hajat sembarangan, bang!” Tapi apa saking kerasnya tepukanku membuat tubuh lelaki itu terjungkal dan terjun ke bawah dan berakhir di kali code dengan bersimbah darah di bagian kepala.

Seorang perempuan keluar dari dalam mobil dan menjerit histeris sambil berhambur ke arah jatuhnya lelaki tadi. Mungkin karena terlalu panik hingga perempuan itu juga tidak menyadari kehadiranku… dia menjerit dan terus meminta tolong. Dan aku?… aku hanya terperangah menyaksikan kejadian itu.

Saat orang-orang mulai berkerumun, sedikit demi sedikit aku memundurkan langkah sebelum perempuan itu tersadar dan menjadi saksi akulah yang telah menyebabkan lelaki itu terjatuh.
Dan ketika aku memalingkan tubuh membelakangi mereka, astaghfirullah… di hadapanku muncul dua sosok dengan keadaan menyeramkan.

Seorang perempuan dengan kepala retak dan bola mata hampir terlepas, dan seorang lelaki yang… lelaki yang baru beberapa menit lalu kukenal sebagai lelaki gendut yang pipis di pinggir jembatan. Keadaannya tak jauh mengenaskannya dengan si perempuan, tempurung kepalanya pecah hingga darah mengucur tak henti-henti, sedang luka sobek dari bawah mata hingga mulut menganga di pipi kanannya. Dan tampaknya tulang-tulang di bagian bahunya remuk sedang tubuh di bagian bahu hancur hingga beberapa tulang tampak menonjol ke permukaan.

“semua ini gara-gara kamu…!” Hardik mereka berbarengan. Aku benar-benar tidak tahu menahu alasan mereka mengatakan itu. Aku hanya berlalu seperti pengecut yang terbirit-birit tanpa tanggung jawab setelah membuat onar.

Disela pelarianku itu aku berpapasan dengan dua orang ibu dengan gaya khas keibuannya. Yang satu berperawakan gendut dan memakai daster dengan rambut dikuncit ala kadarnya, sedang yang satunya lebih gendut lagi dari yang pertama dengan roll menghiasi poni dan memakai daster pula. Meski setengah berbisik aku masih bisa mendengar percakapan mereka berdua.

“ternyata apa yang diisukan itu benar kan bu…?! Arwah gentayangan itu muncul lagi.”

“iya benar, sekarang kan bulan April, bulan saat calon pengantin itu tewas ditusuk preman saat menunggu tunangannya disini.”

“ternyata sampai sekarang arwahnya masih penasaran. Setiap tahun dibulan April selalu saja ada kejadian mengenaskan di jembatan ini”

“Kasihan, sebenarnya dia gadis yang baik, cuma nasibnya saja sedang naas.”

Aku hanya terdiam mendengar percakapan mereka, tanpa niat untuk ikut nimbrung di dalamnya atau hanya sekedar bertanya sebenarnya siapa arwah penasaran yang mereka maksud itu? membuat aku jadi ikut penasaran juga. Sementara mereka tetap berjalan melewatiku seakan tanpa sadar akan kehadiranku di antara mereka, aku juga masih tetap berdiri menunggu datangnya tunanganku yang berjanji akan menjemputku disini.

Malam ini, malam ketiga di bulan April dan pada jam yang sama pula. Dan aku masih disini, menunggu tunanganku yang tak kunjung datang. Aku tak tahu pasti apa alasan hingga dia tak kunjung datang menjemputku, dan aku pun tak tahu kenapa aku masih selalu menunggunya disini.

Aku mengarahkan pandanganku ke arah barat, arah dimana harusnya mas Adi datang menjemputku. Kulihat seorang ibu-ibu bakulan sedang menjinjing keranjang besar dari anyaman bambu. Karena berjalan tergesa, kakinya tersandung sesuatu hingga dia terjungkal dan tumpahlah bola-bola sebesar genggaman dari keranjang anyamnya. Salah satu benda berbentuk bola itu terus menggelinding hingga berhenti tepat di bawah kakiku. Kupungut benda itu, dan aku mengenalinya sebagai buah jeruk. Kupungut buah itu kemudian berjalan mendekat padanya. Aku menunduk tepat di hadapannya, sedang dia masih saja sibuk memunguti satu persatu jeruk dagangannya yang tercecer.

Kemudian aku menawarkan sesuatu padanya “bisa saya bantu bu…?!”

No comments:

Post a Comment