Friday, December 2, 2016

Jumat Keramat


Jumat Keramat

Badanku terasa pegal-pegal. Kepala pening, leher seperti membeku ke arah kiri. Punggung rasanya mau copot. Tidur di pagi hari selalu tidak menjadikanku bugar ketika bangun. Tapi anehnya aktivitas ini terus aku lakukan ketika malamnya aku terjaga. Membayar ‘hutang’, kalau kata orang. Diskusi baru usai pukul 02.15 dini hari. Aku pulang tinggal setengah nyawa. Mata merah dan badan lemas.

Aku berusaha membuka mata. Mencari telepon pintarku. Melihat jam, membuka notifikasi, membaca semuanya tapi tidak langsung membalasnya. Ada 10 pesan dan 4 panggilan tak terjawab yang kesemuannya dari Ayu, isinya, jelas, memintaku untuk segera bangun dengan emoticon ala anak muda kekinian. Dan seperti biasanya, itu tidak mampu menjadi pemicu untuk bangun. Ayu sangat paham itu.

Ayu adalah perempuan baik-baik yang resmi menjadi pacarku sejak tiga bulan lalu. Aku mengenalnya dari sebuah diskusi tentang Hak Asasi Manusia, saat itu aku dan dia sama-sama menjadi penanya. Singkat kata kami berkenalan, betukar nomor lalu seminggu kemudian sepakat untuk menjalin hubungan. Sangat mudah memiliki cinta tapi tidak untuk menjaga hangatnya.

“Iya, aku sudah bangun,” balasku singkat untuk sepuluh pesan yang dikirimnya tiga jam yang lalu.
“Ini sudah pukul sebelas, mas. Jangan sampai kamu punya niat untuk meninggalkan shalat subuh dan shalat Jum’atmu sekaligus,” balasan pesan yang langsung membuatku terperanjat dan melompat dari tempat tidurku. Ah, aku baru ingat kalau ini hari Jum’at.

Ponsel kulempar ke atas kasur, menyibak gorden dan membuka jendela. Di luar sudah sangat terang. Cenderung panas bahkan. Mataku menyipit menerima sinar matahari. Silau. Sayup-sayup terdengar suara tape recorder masjid melantunkan ayat-ayat suci.
“Kali ini aku benar-benar kesiangan,” gumamku.
Dengan mata yang belum terbuka secara sempurna aku berjalan menuju pintu, mengambil handuk, masuk ke kamar mandi lalu mengguyurkan air ke sekujur tubuhku perlahan. Aku resmi mandi.

Aku tiba di masjid tepat saat Muadzin menjalankan tugasnya, di dalam belum terlalu ramai ternyata padahal sudah hampir jam 12 siang. Biasanya jam segini sudah meluber sampai ke serambi masjid. Hari ini aku beruntung masih bisa mendapat bagian shaf di dalam masjid agak belakang, tepat di bawah kipas angin. Tempat favorit untuk orang-orang sepertiku.

Adzan selesai. Aku duduk dan bersiap mendengarkan ceramah.
“Jama’ah yang berbahagia, marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala…,” khotib mengawali ceramahnya. Kalimat template yang sedikit menggangguku. Sok tahu tentang kondisi hati jama’ahnya. Tidak semua sedang berbahagia.

Aku duduk pada shaf paling belakang. Ketika sedang mendengarkan isi ceramah sambil mengamati sekitar, pandanganku berhenti pada seorang kakek-kakek berumur sekitar 70 tahun yang duduk di pojokan. Masih satu deret denganku. Mengenakan jubah, kaos kaki serta sarung tangan yang serba putih. Rambut panjangnya terurai bebas. Memiliki jenggot yang terikat rapi oleh dua buah karet warna merah. Ia duduk bersandar di dinding, kaki kanannya dilipat ke atas, kaki kiri menjulur ke depan dan matanya terpejam. Persis seperti saat seseorang duduk di warung kopi. Aku mengamatinya cukup lama. Bagiku penampilan orang ini tidak biasa.

Di tengah-tengah ceramah, tiba-tiba ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong jubahnya. Sebungkus rok*k berikut korek apinya. Menarik sebatang, lalu… hah? dia menyalakkan rok*k di dalam masjid?! Di saat khotib berceramah! Apa yang ada di kepala pak tua ini? Rasanya tidak mungkin jika ia tak mengerti etika di dalam masjid. Anehnya tidak ada satu pun jama’ah yang menyadari aktivitas si kakek. Semuanya diam mengahadap ke arah mimbar. Sementara asap rok*k dari Pak tua ini semakin menyebar ke seisi masjid.

Intuisi sebagai seorang muslim agaknya mulai bermain. Kata pak Ustadz di kampung, jika ada kedzholiman yang terjadi di sekitar kita, maka kita berkewajiban untuk meresponnya. Sebisa dan semampu kita. Ah, tapi kalau aku menegurnya dengan ucapan ibadah jum’atku hari ini akan sia-sia, tapi kalau aku juga memilih untuk diam saja Pak tua ini akan semakin menjadi-jadi. Aku diserang rasa gamang. Bodo amat, pikirku.
“Permisi, kek tolong rok*knya dimatikan. Ini masjid.” Tegurku dengan nada setengah berbisik.
Dia tak bergeming ternyata. Tetap melanjutkan merok*k. Mungkin suaraku terlalu pelan sehingga sulit untuk didengar olehnya. Barangkali pendengarannya sudah bermasalah karena faktor umur.
“Kek, tolong rok*knya dimatikan!” kali ini dengan suara yang cukup lantang.
Dia masih tak bereaksi apa pun. Hanya saja kini tak lagi menghisap. Apakah dia mendengar? Apakah dia akan mematikan rok*knya? Ternyata tidak! Dia masih terus menghisap tembakaunya.

Belum selesai aku dengan Pak Tua tadi, datang seorang masuk ke dalam masjid dengan hanya menggunakan kaos dalam warna putih dan celana pendek hitam. Ada banyak bercak darah di kaos yang ia kenakan. Semuanya terlihat lusuh dan menjijikkan. Bau anyir langsung tercium seketika. Tubuhnya yang hitam legam tampak mengkilap penuh keringat. Ia masuk dengan berlari kecil menuju ke arah mimbar. Mengambil mikrofon yang tengah digunakan khotib berceramah lalu pergi secepat kilat. Maling! Ada maling! Aku berusaha berteriak tetapi suaraku seolah tertahan ketika sampai di tenggorokan.
Yang lebih mengherankan lagi tidak ada seorang pun yang menyadari peristiwa pencurian tersebut, bahkan orang yang diambil mikrofonnya seperti tidak sadar dan masih terus melanjutkan ceramahnya. Aku terperangah melihat fenomena aneh yang baru saja terjadi di depan mataku. Bagaimana mungkin ada seseorang yang sedang mencuri mikrofon di depan banyak orang tetapi tidak satu pun menyadarinya. Apakah orang tadi menganut ilmu hitam? Tapi bagaimana caranya ilmu hitam bisa bekerja di dalam masjid? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menyesaki isi kepalaku. Ketika aku masih diombang-ambingkan oleh kebingungan demi kebingan tiba-tiba seseorang terasa sedang menggenggam tanganku dengan sangat kuat.
“Hei, anak muda!,” sebuah suara mengagetkanku. Badanku membatu. Tidak mau digerakkan. Kepalaku menghadap lurus ke arah depan. Aku tidak berani menoleh.
“Hei, jangan diam saja! Ini, cobalah sebatang saja. Ayo! Ha.. ha.. ha”, suara itu terdengar semakin dekat sekarang. Masih tetap serak tapi kali ini diiringi gelak tawa. Jangan-jangan ini tangan dan suara Pak Tua di belakangku tadi. Aku masih tidak bergerak sama sekali. Aku bacakan surat Al-fatehah. Berharap tidak akan terjadi apa pun pada diriku.
Genggaman yang sedari tadi mencengkeram tanganku tiba-tiba melemah dan terlepas. Suara berat juga sudah tak terdengar lagi sekarang. Aku menoleh ke belakang. Pak tua aneh tadi sudah tidak lagi tampak di sana. Hilang bersama kepulan asap rok*knya. Tak berbekas. Tak berjejak sama sekali. Syukurlah.

“Jama’ah yang berbahagia, di khotbah yang kedua ini marilah kita memanjatkan doa kepada Allah subhanahu wata’ala,” seru khotib mengawali ceramah keduanya. Tanpa mikrofon di depannya tentu saja. Aku mengehela nafas panjang. Akhirnya sebentar lagi selesai. Dan aku bisa segera pergi dari sini.

Sementara khotib memimpin doa, para jama’ah menengadahkan tangannya ke atas. Semua tampak khusyu’ dan normal sekarang begitu juga denganku. Doa selesai. Muadzin kembali melaksanakan tugasnya. Semua jama’ah bangkit dari duduknya untuk melaksanakan shalat. Semuanya masih tampak normal. Tidak ada lagi keanehan yang muncul.
“Allah…huakbar,” shalat dimulai.

Raka’at pertama selesai. Sekali lagi semua masih tampak normal. Sampai ketika terdengar suara tangis yang sungguh memekakkan telinga. Aku terhenyak dan langsung menggerakkan bola mataku ke kanan dan kiri. Mencari sumber dari suara tangisan tadi. Nihil. Aku tidak mendapati seorang pun yang menangis dari penjelajahan kedua bola mataku. Mungkin itu tangisan anak kecil yang sedang dilatih orangtuanya beribadah di masjid, batinku berusaha menghbur diriku sendiri. Tetapi suara itu bukan seperti suara seorang anak kecil. Suaranya berat dan agak serak.

“A…mi…n!,” suara jama’ah kompak menyambut ayat terakhir dari al-fatihah yang dibaca oleh Imam.
Suara tangisan itu semakin lama semakin keras. Sejujurnya aku tidak siap dan terlalu pengecut untuk menghadapi suara-suara yang tak jelas sumbernya seperti ini. Tunggu sebentar, pertanyaanku sepertinya akan terjawab. Aku melihat seseorang di shaf kedua dalam posisi duduk jongkok. Terlihat sesenggukan sambil menggigil sesekali. Berpakaian serba putih, rambut panjang terurai. Aku sudah tidak peduli lagi dengan shalatku. Perhatianku kini tersita oleh penasaranku kepada seseorang di depan sana.

Ketika semua orang di sekitarku sedang sujud aku pelankan gerakanku untuk mengamati orang itu. Masih menangis dan masih pada posisi jongkok seperti tadi. Ketika tatapanku puas menelanjangi tubuhnya dia tiba-tiba menoleh ke arahku yang seketika membuatku terheran-heran. Ternyata Pak tua yang tadi! Ia menatapku dengan tatapan iba. Air matanya menganak sungai. Beberapa tertahan di pucuk jenggot putihnya. Kami sempat beradu pandangan beberapa saat sebelum akhirnya ia berdiri dan berjalan ke arahku. Aku ketakutan setengah mati. Langsung aku tenggelamkan kepalaku di antara para jama’ah lainnya. Sambil terus berdoa semoga Pak tua itu buka sedang berjalan ke arahku.

Dalam hati aku sempat menduga-duga, jangan-jangan ia adalah malaikat pencabut nyawa. Jangan-jangan ajalku akan tiba sebentar lagi. Akankah aku mati di masjid dalam keadaan shalat? Tapi, masa iya malaikat merok*k di masjid apalagi saat khotbah jum’at berlangsung? Masa iya malaikat tidak memilih untuk ikut shalat terlebih dahulu baru mengambil nyawaku? Lalu, kalau memang benar Pak Tua tadi adalah malaikat pencabut nyawa, darimana ia mendapatkan dua karet gelang merah untuk mengikat jenggot panjangnya? Ketika pikiranku masih bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan di atas seseorang terasa menepuk pundakku dengan sangat kuat.
“Hei, bangun.. bangun. Mari kita pulang! Kamu sudah terlalu lama di sini”
Aku sebentar lagi mati, batinku. Mulutku seketika membaca semua bacaan dzikir yang aku tahu sambil terus berdoa dalam hati. Jantung sudah seperti gendang di konser-konser dangdut. Berdetak begitu cepat.
Semoga aku khusnul khotimah ya, Tuhan. Maafkan dosa-dosaku selama ini. Lebarkan kuburanku, berikan orangtuaku ketabahan karena kehilangan aku. Asyhadu ala ilaha illa allah..wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.
Tiba-tiba semua terasa sesak. Cahaya perlahan-lahan meredup. Dalam sekejap mata semuanya menjadi hitam. Gelap. Aku mati?

“Heh, mas, bangun, mas! Shalatnya sudah selesai, mas nggak pulang,” samar-samar terdengar seseorang sedang memintaku untuk bangun. Suara laki-laki.
Pendengaranku masih berfungsi, aku masih hidup? Aku tidak jadi mati? Tapi, bagaimana bisa?
“Bangun mas. Mau pulang atau mau bantu saya bersih-bersih masjid he he he?,”
“Ehm,”
Tengkukku terasa sakit. Dengan sekuat tenaga aku berupaya memperoleh kesadaran yang utuh pada posisiku saat ini. Kaki bersila dengan kepala tertunduk di atas lantai.
Ketika aku mendongak, di hadapanku sudah tidak terlihat siapa pun. Seisi masjid tampak lengang. Orang-orang sudah pulang. Pak tua tadi juga sudah tidak terlihat lagi. Tinggal tersisa seseorang yang sedang berdiri di sisi kiriku yang sedang memegangi pundakku.
“Pada kemana pak?”
“Sudah pada pulang mas. Shalatnya kan sudah selesai.”
Belum sempat aku mencerna situasi, bapak-bapak itu sudah meneruskan pembicaraannya.
“Waktu saya lagi menyapu serambi tadi saya kira mas-nya lagi dzikir sambil merunduk. Eh, setelah saya dekati ternyata tidur. Mungkin saking khusuknya, ya mas. He he he,” tuturnya mencoba menerangkan kronologi. Dari penjelasannya, bapak ini sepertinya penjaga masjid.
Aku mulai mengerti sekarang, ternyata aku tertidur sepanjang khutbah dan terus terlelap sampai shalat jum’at selesai. Lalu penjaga masjid menemukanku di sini dan berusaha membangunkan. Alamak, berarti semua keganjilan dan keanehan yang aku alami itu hanya bunga tidur saja. Cuma mimpi? Pak tua yang merokok, seseorang yang mencuri mikorofon khotib, suara tangisan, semuanya tidak pernah ada? Seseorang yang kusangka ‘Malaikat’ dan hendak mencabut nyawaku juga tidak pernah terjadi? Tapi semuanya tampak nyata. Astaga! Alangkah konyolnya diriku.

“Saya pamit dulu, pak” tanpa menunggu jawaban aku langsung berdiri, membetulkan posisi sarungku dan berjalan setengah berlari ke luar. Mengambil sandal dengan tergesa-gesa. Pulang.

Di sepanjang jalan menuju kost aku terus mengumpat tanpa henti. Kepada diriku, kepada Pak tua aneh yang aku temui di dalam mimpi dan juga kepada kipas angin masjid. Memalukkan sekali, batinku. Aku merasa sangat kesal. Ingin juga rasanya menumpahkan amarah kepada kipas angin masjid dan keputusanku pulang pagi dari acara diskusi. Keduanya seolah telah bersekongkol untuk menina bobokkanku sehingga tertidur pulas.

Dalam hati aku bersumpah, tidak akan pernah lagi begadang di malam Jum’at. Dengan alasan apa pun aku akan menolak semua ajakan untuk keluar di malam itu. Aku juga tidak akan shalat Jum’at di masjid itu lagi. Jum’at depan harus pindah masjid. Demi harga diriku dan demi tidak bertemu lagi dengan Pak tua misterius itu.

No comments:

Post a Comment