Friday, December 2, 2016

Cerita Seram Jepang


Cerita Seram Jepang

Bulan purnama sedang bundar-bundarnya. Aku berjalan sambil menggandeng gunting raksasaku. Tanyakan mengapa ada darah mengalir dari ujungnya, maka aku akan menjawab bahwa ia baru saja memakan santapan malamnya, seorang pria tampan berjas yang meragukan kecantikanku.

Aku terus berjalan menembus kabut malam yang menebal hingga sampailah aku di Awashima Jinja. Kuil ini akan terlihat sepi pada tengah malam, bagi manusia yang tidak punya kepekaan tinggi. Tapi bagiku, jelas sekali gaduhnya. Boneka anak-anak berpakaian kimono berlarian ke mana-mana.

Di depan pintu kuil, Neko-san, boneka kucing lambang kemakmuran itu menyapaku.
“Konbanwa, Kuchisake-chan.”
“Konbanwa, Neko-san.”
“Bahkan yokai pun berdoa untuk diberi jodoh.”

Aku menurunkan maskerku, bermaksud menunjukkan senyumku kepadanya. Walaupun aku tahu, selain mataku yang menyipit, Neko-san tak akan tahu aku tersenyum. Terang saja, karena bentuk mulutku yang sudah tersobek dari telinga kanan sampai ke telinga kiriku. Aku tidak pernah memaafkan dokter bedah yang melakukan ini. Kalau saja dia tidak menggunakan pomade berbau aneh dan tidak terganggu karenanya, mungkin wajahku sudah tampak cantik setelah upaya pembedahan plastik itu. Tentu saja aku membunuhnya, namun karena itu, orang-orang malah balik membunuhku. Sungguh kejam. Bahkan setelah kematianku, tak ada satu pun pria yang menganggapku cantik.

Aku bersimpuh di depan ribuan boneka yang masih tertidur. Awashima Jinja, kuil seribu boneka, kuil di mana para wanita mengadukan permohonannya. Aku sendiri tak tahu pasti apakah Dewa itu ada. Kalau memang benar adanya, aku harap ia mengabulkan doaku.

Setelah berdiam cukup lama hanya untuk satu permintaan, aku segera beranjak dan pergi menuju Kyoto. Kami para makhluk yang dianggap mitos ini juga punya kehidupan serupa dengan manusia. Kami juga berkumpul dan berbincang satu sama lain. Sama halnya dengan hari ini, aku akan bertemu dengan Yuki-onna di salah satu cafe yokai favorit kami.

Sesampainya di Kyoto, aku disambut oleh si leher panjang, Rokurokubi. Saking panjangnya, aku hampir tak bisa melihat di mana ujung kepalanya.
“Rokurokubi, kenapa tidak kau tekuk lehermu itu?”
“Eh, maaf, Kuchi-san. Aku sedang mencari gadis yang baru saja memesan takoyaki.” Dengan sekejap, hidungnya sudah muncul tepat di depan hidungku. “Jadi, kenapa tidak kau lepas masker operasimu itu? Tidak ada manusia di sini.”
Aku menuruti perintahnya. “Ya. Kau tahu di mana Yuki-onna berada?”
“Oh, si putri salju itu. Meja nomor 44.” Rokurokubi menunjuk satu meja dan aku langsung melangkah ke arahnya.

Baru saja sampai pada radius seratus meter dari Yuki, tubuhku sudah menggigil. Seperti namanya, ia selalu saja sedingin salju. “Kemana saja, Kuchisake?” wajah bekunya menatapku.
“Awashima Jinja.” Jawabku.
“Aku tak percaya ada yokai yang masih berdoa kepada Dewa soal jodohnya.” Yuki menyeruput segelas es kelapa impor yang sepertinya sudah tak ada rasanya saking bekunya.

Aku mendengus lemas. Si cantik Yuki mana tahu rasanya jadi Kuchisake, si buruk rupa dengan mulut yang sobek. Sepanjang musim dingin, Yuki akan berkeliling Jepang untuk bertemu banyak laki-laki dan menggodanya. Setelah terjerat, laki-laki itu akan diajaknya berciuman. Tentu saja, mereka lelaki bodoh karena maunya saja tertipu. Akibat napas beku Yuki, mereka pun berubah menjadi es dan mati seketika.

“Menurutku, kamu hanya perlu berganti style. Mana mungkin mereka mau bersamamu kalau kau selalu membawa-bawa gunting itu.”
Aku memperhatikan benda yang hampir tak pernah lepas dariku ini. “Tapi dengan ini aku bisa menghukum mereka yang meragukan kecantikanku.”
Yuki menghembuskan napas esnya membuatku sedikit merinding. “Bagaimana mereka mau berkata iya kalau yang mereka lihat itu gadis dengan gunting yang berdarah-darah?”
Aku menyimak.
“Cobalah dengan awal yang lembut. Sapa mereka dengan manja dan berbasa-basilah sedikit. Jangan lepaskan maskermu sampai kaulakukan semua itu. Dan setelah beres, lanjutkan dengan pertanyaan membosankan yang selalu saja kau tanyakan itu.”

Aku mengerti. Keesokan malamnya setelah mengunjungi Awashima Jinja, aku kembali bergentayangan di sekitar prefektur Wakayama. Aku menunggu dibalik tembok gedung seraya mengamati segerombol pria yang baru saja pulang kerja. Seperti saran Yuki, aku menanggalkan guntingku di kuil.
“Hey, Abe, kau pulang sendirian?”
“Kenapa? Aku ini pria dewasa, memangnya ada yang berani menculikku?” Abe tertawa keras. Tapi kedua temannya justru memandangnya khawatir.
“Kau harus berhati-hati! Belakangan, Kuchisake-onna suka berkeliaran di daerah sini.”
“Ah, itu kan cuma mitos. Aku baik-baik saja, tenanglah. Ja!” Abe berbalik dan melenggang pergi. Aku mengikutinya sampai di lampu lalu lintas perempatan jalan. Beruntungnya aku, karena lampu pejalan kaki sedang berwarna merah. Masih ada beberapa mobil yang melintas, membuat Abe memutuskan untuk berhenti. Waktunya aku melancarkan aksiku.

“Konbanwa, Onii-chan.” Sapaku. Mataku menyipit karena tersenyum. Kata Yuki, laki-laki muda suka dipanggil onii-chan oleh gadisnya, walaupun membuatku jadi merasa konyol begini. Padahal umurku jauh lebih tua darinya.
“Apa yang kau lakukan sendirian malam-malam?” Aku tak menyangka akan mendapat respon positif. Abe balik tersenyum padaku.
“Jalan-jalan.”
“Kau suka jalan-jalan tengah malam?”
Aku mengangguk.
“Seharusnya kamu tidak melakukan ini. Bahaya bagi gadis cantik sepertimu berkeliaran pada jam-jam segini.” Pernyataannya membuatku hampir tersedak karena bahagia. “Oya, aku Abe, siapa namamu?”
Aku terdiam.
“Onii-chan. Watashi wa kirei desu ka?”
Abe tertawa. “Walaupun kau menutupinya dengan masker, aku tahu mana gadis yang cantik dan tidak.”
Perlahan aku membuka masker yang menutupi wajahku, lalu aku bertanya lagi, “Walaupun seperti ini?”
Abe tampak terkejut. Namun dalam sekejap, ia mampu menguasai diri. “Tentu saja.” Lalu ia tersenyum lagi.
Lampu lalu lintas berganti hijau. Kami menyeberang bersama. Aku mengikutinya sampai di depan pintu gerbang rumahnya, lalu ia berhenti. “Kenapa kau mengikutiku?”
“Kita akan bersama, bukan? Aku ingin tinggal bersamamu, menjadi istrimu.”
Tidak terbayang olehku apa yang menjadi reaksinya. Ia berbalik dan berseru “Kau gila?! Apa aku terlihat ingin menikahi hantu?”
Pertanyaan itu adalah yang terakhir kudengar darinya. Ya. Aku membunuhnya.

Aku termenung di tepi danau sendirian. Mungkin sudah jadi nasib seorang Kuchisake hidup sendiri. Ketika tengah bercakap dengan sepi, Kappa muncul dari dalam air membawa sebuah mentimun.
“Hai, onna.”
Aku tak menjawab.
“Apa masih terpikir kejadian kemarin malam? Tak usah kau pikirkan lagi, toh dia sudah mati. Mau timun?”
“Aku juga sudah mati.” Aku terdiam sejenak, “tunggu, kenapa kamu bisa tahu kejadian kemarin malam?”
Kini, giliran Kappa yang diam. “Aku.. itu karena aku memperhatikanmu.”
“Apa?”
“Aku kira seorang Kuchisake tidak akan pernah menerima seekor Kappa yang buruk rupa untuk menemaninya. Jadi, aku hanya berani memperhatikanmu dari jauh.”
Hening.
Geli rasanya. Selama ini, aku minder berhadapan dengan manusia-manusia yang menolakku karena tampangku, dan sekarang ada makhluk sejenisku yang minder menghadapiku karena rupanya.
Aku mengambil timun yang diberikan Kappa padaku, lalu membaginya jadi dua. Kami pun menikmati malam itu dengan bisu yang tak pernah sesenang ini kami terlibat di dalamnya.

Mengapa mencari-cari yang tak mungkin, kalau yang mungkin-mungkin saja mencarimu kemana-mana?

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi berharap pada manusia. Tapi jangan senang dulu. Aku akan tetap berkeliaran tengah malam dengan guntingku dan bertanya pertanyaan yang membosankan, “Watashi wa kirei desu ka?”
Kalau kau jawab “TIDAK”, aku akan membunuhmu. Kalau kau jawab “IYA”, aku akan mengikutimu sampai rumah dan aku akan tetap membunuhmu. Jadi, bersiaplah!

No comments:

Post a Comment