Friday, December 2, 2016

Hantu Teman


Hantu Teman

Sudah kesekian kalinya kami harus pindah rumah. Ini karena ibu harus bekerja ke luar kota. Kadang, aku bosan hidup nomaden begini. Maksudku, itu berarti kau harus beradaptasi dengan segala sesuatunya dan itu sangat sulit untuk orang sepertiku.

“Kau pasti senang tinggal di sana, Casey!” Ucap ibu dengan penuh semangat. Aku yang duduk di sampingnya hanya terdiam. Dia mulai bercerita tentang betapa indahnya rumah baru itu, dindingnya dicat warna pastel atau apalah namanya ibu tidak terlalu jelas menyebutkannya. Lagipula aku buruk dalam hal warna padahal usiaku hampir 11 tahun.

Hari-hari kuhabiskan di rumah saja bersama anjingku Buck sambil menunggu ibu pulang bekerja. Hanya Buck yang selalu menemani kemanapun aku pergi. Sampai aku bertemu dengannya minggu lalu. Saat itu aku tidak sengaja memecahkan jendela rumahnya.

“Ibu tahu tidak mr. Larry tetangga kita. Dia orang yang sangat baik.” ucapku melahap sandwich isi daging.
“Benarkah?” tanya ibu lembut menyeka sisa-sisa sandwich di bibirku.
Aku mengangguk cepat. “Dia bahkan memberiku ini!” ujarku memperlihatkan
Lolipop pemberian mr. Larry tadi pagi.
“Kemarin kami bermain teka-teki.”
“Seperti apa pertanyaannya?” tanya ibu penasaran. Aku berhenti mengunyah, mencoba mengingat-ingat.
“Ketika ia diberi, ia tak pernah dihargai. Ketika telah pergi, barulah ia dicari-cari. Apa ibu tahu jawabannya?”
Suara dentingan jam mengisi kekosongan di antara kami, ibu terdiam agak lama.
“Apa, ya?” ibu mengetuk-ngetuk meja, sesekali terdengar suara “hmm” dari mulutnya.
“Nikmat Tuhan, Bu. Itu yang selalu diabaikan.” Jawabku sekenanya. Ibu hanya ber-oh ria.
“Oh, iya! Ibu tahu? Mr. Larry memiliki bola mata hitam yang sangat besar, tangannya sedingin es dan dia ompong! Hahaha!” kataku sambil tertawa dan kali ini ibu bungkam.
“Ibu harus bertemu dengannya!” Ucapku tersenyum tapi lagi-lagi tidak ada respon dari ibu.

Aku senang sekali bisa bersahabat dengan mr. Larry. Walaupun dia sudah tua dan tidak banyak bicara, tapi dia suka bermain dengan anak kecil. Mr. Larry selalu duduk di sofa sambil menonton tv ketika aku datang. Kami sering bermain petak umpet, teka-teki dan lain-lain. Sungguh mengasyikkan! Tapi, ibu selalu mengalihkan topik ketika aku bercerita tentang mr. Larry, itu membuatku sangat sebal. Jadi, kuputuskan untuk mengajak ibu ke rumahnya.

“Mr. Larry!!” teriakku. Bau aneh menyeruak ketika kami masuk, tapi aku sudah terbiasa dengan bau itu. Dinding rumahnya terasa sangat kasar dan berdebu ketika disentuh.
Lalu mataku tertuju pada sosok yang duduk di sofa. “Lihat, Bu! Mr. Larry tersenyum ke arah kita.”
Ibu hanya terdiam cukup lama.
“Ayo pulang, Casey!” Ucap ibu menarik lenganku. Aku memberontak namun ibu malah menggendongku dan bergegas ke luar.
“Mengapa ibu tidak pernah mendengarkanku!” aku berteriak cukup nyaring.
Tangan lembut ibu menangkup kedua pipiku. “Dengarkan ibu, Nak.”
“Kau … kau itu TIDAK BISA MELIHAT! Bagaimana mungkin kau…” suaranya terdengar bergetar, sedetik kemudian dia memelukku erat.

Ibu menelepon seseorang begitu sampai di rumah. Tak lama kemudian, terdengar suara sirine. Depan rumah kami sepertinya dipenuhi suara orang-orang. Aku mendengar percakapan beberapa orang disana.
“Polisi bilang, mayat itu adalah mr. Larry. Dia ditemukan tewas di sofa dengan pakaian masih lengkap tapi kondisinya sudah berupa tulang-belulang.”
“Benarkah? Itu sangat mengerikan! Bagaimana penyebab kematiannya?”
“Entahlah. Polisi masih menyelidiki.”

Aku melirik ke arah rumah mr. Larry. Dia berdiri disana, tersenyum tipis dan melambaikan tangan ke arahku kemudian hilang ditelan kegelapan. Aku hanya bisa menahan tangis sambil berusaha membalas lambaian tangannya. Selamat tinggal mr. Larry, kau adalah teman terbaikku. Selamanya.

No comments:

Post a Comment