Friday, December 2, 2016

Blackstreet


Blackstreet


Malam semakin pekat, suara anjing liar melengking memenuhi telinga siapapun di tempat itu, Blackstreet. Sebuah kota kecil dengan nama terunik, menurutku nama tersebut lebih cocok untuk sebuah jalan atau komplek. Aku seorang mantan fotografer yang tengah menyendiri. Karirku mengalami penurunan drastis belakangan ini, tanpa penyebab jelas. Direktur perusahan tempatku mencari sesuap nasi memecatku, tanpa alasan rasional. Dalam keterpurukan, aku mendapat tawaran kerja dari seorang CEO muda untuk mengambil gambar-gambar unik di kota kecil itu.

“Cokelat panas, nona”
“Em.. Terimakasih Lussy”
“Kau mau ditemani, nona kecil?” tanya Lussy. Aku mengangguk penuh. Wanita paruh baya itu kemudian duduk di sampingku. Dia adalah asisten rumah tangga yang disewa ibuku sejak aku masih berada dalam kandungan. Lussy kuanggap seperti ibuku yang telah tiada 12 tahun lalu tapi, dia menolak bila aku menyapanya dengan sebutan ibu atau bibi.
“Mau dengar sebuah cerita Lussy?”
“Dengan senang hati, nona” jawabnya sambil terkekeh kecil, mungkin karena baru kali ini aku menawarkan diri untuk bercerita. Kututup laptop, menyeruput cokelat, merapikan naskah yang bertebaran di atas meja. Wajah Lussy terlihat sudah tidak sabar. Aku tersenyum kecil.
“Ini tentang Blackstreet”

Malam itu aku sedang mengotak atik komputer, memeriksa beberapa foto yang berhasil kuambil siang tadi di bekas museum alam. Satu-satunya museum di Blackstreet. Beberapa data menyangkut insiden di kota Blackstreet kucantumkan dalam berkas penting. Sekitar pukul 02:00 dini hari pekerjaanku selesai. Malam itu terasa sangat panjang. Aku sudah tidak sabar kembali ke Ambon. Cuaca di Blackstreet bertolak belakang dengan suhu tubuhku. Mendung selalu menyelimuti kota kecil Seram di Selatan itu, cahaya matahari seolah enggan menyapa tanah Blackstreet. Burung gagak setia menyapa dari balik dahan pohon asam membuat romaku merinding. Siraman cahaya bulan menyeruak masuk ke dalam kamar hotel yang temaram melalui ventilasi. Kurapatkan tirai jendela dan mencoba merajut mimpi tapi gagal oleh suara aneh, seperti desahan berat. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Kutulikan pendengaranku, hanya orang gila yang mau membuka pintu dini hari seperti ini. Suara ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras disertai suara seperti garukan panjang dari atas pintu ke bawah. Jantungku mulai berpacu. Tidak mungkin penjaga hotel membangunkan tamunya pada waktu istirahat. Fantasi liar merasuk kepala, baru kali ini suara-suara aneh itu ku dengar. Telingaku waspada, keringat membanjiri seluruh tubuhku. Rasa takut menjeratku. Kaku. Tubuhku sulit digerakkan. Suara aneh itu masih terdengar. Menit berikutnya lampu kamar mati, kini hanya cahaya bulan yang menerangi bagian tengah kamar.
“Ssrrttt…”
“Psssshtt…”
Suara-suara aneh itu terdengar mendekat tempat aku tidur. Selimut menutupi hampir seluruh tubuhku yang masih bermandikan keringat. Aku beranikan diri mengintip di balik selimut. Tanganku gemetar hebat menyingkap ujung selimut.

Seorang lelaki seumuranku tengah duduk bersimpuh di sudut kamar, samar cahaya bulan menyentuh puncak kepalanya. Dia menunduk, dua tangannya berada di belakang. Entah hal apa yang mendorongku ingin berbicara dengannya. Aku turun dari tempat tidur, berdiri tepat di hadapannya.
“Kamu penghuni kamar ini ya?”
“Kumohon jangan ganggu aku, besok aku sudah meninggalkan tempat ini kok.”
Lelaki itu masih bungkam. Aku tak peduli bila dia tidak mendengarkanku. Asalkan dia harus tahu bahwa aku tidak berniat mengganggu.
“Hanya besok” ucapnya datar. Dingin menusuk tulang, aku segera melangkah kembali ke tempat tidur.

Jam alarm berdering keras membangunkan tidur nyenyakku. Segera kuserbu kamar mandi. Setelah sarapan aku bersiap-siap ke luar kamar tapi, ada sebuah catatan kecil di atas meja kerjaku. Segera kuraih kertas tersebut.

~ Namaku Deon Lupin. Terimakasih sudah mendengar perkataanku ~

“Catatan aneh” desisku.

Kuseruput cokelat buatan Lussy. Dingin.
“Mungkin Deon Lupin adalah nama lelaki yang nona temui malam itu” ucap Lussy menanggapi ceritaku.
“Em.. Nama yang bagus. Rambutnya pirang keperakkan”
Lussy tersenyum kecut.
“Tapi, nona bukankah kota Blackstreet itu telah lama hilang?”
Aku tersentak kaget, memang Lussy tidak pernah tahu 3 bulan lalu aku berada disana. Wajahku memucat.
“Maksud kamu?”
“Iya, nona. Blackstreet terbakar habis 29 tahun lalu bersama seluruh keluarga saya”
Tubuhku bergetar hebat, 3 bulan aku jauh dari rumah dan kehidupan normal. Lussy memelukku, erat. Airmata tak kuasa ku tahan.
“Semua baik-baik saja sekarang nona di rumah” ucapnya lembut.
Aku mengangguk lemah. Masih terpukul dengan semua hal yang kudengar.
“Nona tidak perlu khawatir, saya akan menjaga nona. Lagipula nona tidak harus pergi jauh lagi kan sekarang nona bisa bekerja di rumah. Menulis.” ucapnya lagi, menghiburku.
Ya, aku Alicya Veronica, penulis novel ternama di kota Ambon. Malam ini Lussy memberiku ide baru untuk menulis. Kusambar laptop, membuat worksheet baru “Misteri Hilangnya Blackstreet”

No comments:

Post a Comment