Friday, December 2, 2016

Kenangan Kematian


Kenangan Kematian


Liana berjalan perlahan dengan kaki lemas ke arah kursi roda yang sudah disiapkan tidak jauh dari ranjangnya. Dengan dibantu oleh beberapa orang perawat, akhirnya Liana kini bisa duduk dengan tenang di kursi rodanya. Kemudian ia menatap ke arah wanita tua berambut cokelat pendek setengah beruban yang duduk di sampingnya. Itu adalah bibinya, orang yang selama ini selalu setia menunggu Liana selama ia sakit dan selalu setia merawat Liana semenjak kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan di usianya yang keempat tahun.

Liana menghembuskan napas saat bibinya tersenyum. Ia merasa senang, akhirnya ia bisa keluar dari rumah sakit ini, akhirnya ia bisa terbebas dari sangkar yang disebut rumah sakit ini. Akhirnya ia bisa kembali melihat dunia luar sebagai orang yang normal. Meskipun masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Ia tidak bisa mengingat mengapa ia bisa berada di dalam rumah sakit ini, mengapa ia bisa tidak mengingat sama sekali hari-hari yang dilaluinya di rumah sakit ini kecuali di hari terakhirnya. Mengapa ia bisa mengidap penyakit aneh yang bahkan tidak pernah ia bayangkan seumur hidupnya. Penyakit kejiwaan.

Meski begitu, hanya satu yang ia yakini. Ia merasa tidak senang berada di rumah sakit ini. Ia merasa muak berada di sini. Dan ia juga merasa sedih berada di tempat ini. Karena ia juga sudah menghabiskan dua tahun hidupnya di dalam rumah sakit mengerikan ini.


Liana memang merupakan seorang mantan pengidap penyakit jiwa. Sebelumnya, ia dirawat di sebuah rumah sakit jiwa dengan level perawatan yang cukup tinggi. Itu artinya, sebelumnya, dia adalah orang yang benar-benar sakit jiwanya sampai tidak bisa dikendalikan dengan menggunakan perawatan biasa. Dan parahnya lagi, itu terjadi selama dua tahun.

Sepertinya, sesuatu yang amat sangat buruk baru saja terjadi padanya. Namun Liana sendiri tidak tahu “sesuatu” itu, karena ia memang benar-benar tidak mengingatnya meski sedikit. Yang jelas, karena kejadian yang tidak diketahuinya ini, ia menjadi pasien di rumah sakit jiwa ini. Semenjak ia keluar dari rumah sakit jiwa ini dan menjalani masa istirahat selama dua bulan di rumah bibinya, ia selalu cerewet bertanya mengenai kejadian aneh itu kepada bibinya, namun, bibinya selalu berusaha mengalihkan perhatian dan bersikap seolah tidak mau peduli dengan hal itu lagi. Dan karena itulah, Liana menyerah menanyakan hal itu.

Setelah masa istirahat selama dua bulannya selesai, bibi Liana yang bernama bibi Darcy ini pun memutuskan untuk kembali menyekolahkan Liana mengingat waktu dua tahunnya yang terbuang di rumah sakit. Seharusnya, jika saja Liana tidak sakit selama dua tahun, dia sudah kelas tiga SMU sekarang, namun, karena terlalu banyak melewati materi pelajaran yang penting, ia pun terpaksa untuk mengulang lagi dari kelas satu.

Selama di sekolah barunya, Liana yang berusaha bersifat ramah terhadap semua orang ini pun, dengan cepat disukai oleh banyak orang termasuk para guru di sekolahnya. Meskipun mereka tahu kalau dulunya Liana mengidap sakit jiwa, namun mereka tidak mempedulikan itu sama sekali, dan selalu berbaur dengan Liana seolah Liana adalah anak yang normal.

Meskipun Liana selalu tersenyum, namun ia masih penasaran dengan kejadian aneh yang menimpanya dua tahun lalu sebelum hidupnya berubah. Karena ia sudah tidak bisa bertanya lagi kepada bibinya, ia pun memutuskan untuk berusaha mencari tahunya seorang diri. Hingga akhirnya ia bertanya pada salah satu teman sekelasnya, mengenai cara mengembalikan ingatan yang hilang.

“Jadi kau ingin mengingat hal aneh yang terjadi dua tahun lalu padamu??” ujar Nelly, teman sekelas Liana yang paling akrab dengannya. Kemudian Liana pun mengangguk.

“Mudah saja, kau tahu kan?? Elevator yang ada di lantai tiga sekolah kita?? Elevator yang selalu ditutup itu??” tanyanya lagi. Liana memutar matanya sambil mengingat-ingat. Kemudian ia teringat, elevator yang selalu ditutup dan tidak boleh digunakan oleh siapapun sampai berdebu di lantai tiga.

“Padahal, sekolah kita bertingkat enam, tapi elevator satu-satunya selalu ditutup. Itu karena tersimpan sebuah misteri di dalamnya. Yaitu adalah mengembalikan ingatan seseorang yang sudah hilang. Benar-benar hilang.”


“Caranya mudah saja Liana. Kau hanya perlu masuk ke dalam elevator itu seperti kau masuk ke dalam elevator biasa. Sebelum kau masuk ke dalamnya, kau harus memantapkan hatimu dan memikirkan dalam-dalam kenangan apa yang akan kau ingat kembali. Setelah itu masuklah.”

Liana mengingat baik-baik perkataan Nelly sambil berjalan melewati tangga menuju lantai tiga. Jantungnya kini benar-benar berdebar kencang. Entah karena gugup, atau takut.

“Setelah itu, setelah kau masuk, kau hanya perlu menunggu sampai pintu elevator tertutup. Pastikan jangan sampai ada yang melihatmu. Setelah tertutup, kau hanya perlu memejamkan mata dan terus memantapkan hati dan meluruskan pikiranmu ke arah kenangan yang hilang itu.”

Kini Liana sedang berjalan menyusuri koridor, tinggal sedikit lagi ia sampai ke elevator yang dituju. Dia terus menggenggam erat roknya, ia mengingit bibirnya. Kali ini, bahkan keringat dingin pun juga ikut-ikutan memperketat suasana menegangkan.

“Kemudian, ingat juga hal ini. Dulu, ada kakak kelas kita yang masuk ke dalam elevator itu juga, saat itu, elevator itu masih sangat sering dipakai oleh orang-orang di sekolah. Namun, hal yang berbeda terjadi pada kakak kelas ini. Ia dikenal sangat pendiam dan selalu memiliki masalah dengan keluarganya. Dan saat ia masuk ke dalam elevator, dan saat elevator telah sampai di lantai enam… Kakak kelas itu, yang ada di elevator…”

Liana terus berjalan sambil menggigit jarinya. Tinggal tiga langkah lagi.

“Menghilang.”

Dan kini, Liana sudah benar-benar berdiri di depan elevator. Ia menatap elevator dengan sebuah kertas bertuliskan “Dilarang menggunakan elevator. Sedang masa perbaikan” tertempel di pintu elevator.

“Tidak ada yang tahu kemana ia menghilang, banyak yang bilang kalau ia ingin bunuh diri setelah sampai di lantai enam, namun, ia malah menghilang, benar-benar menghilang tanpa jejak. Dan semenjak itulah, semuanya tidak berani menggunakan elevator itu lagi.”

Liana memejamkan matanya sejenak sambil mengatur napas dan emosi antara gugup dan takut yang bercampur dalam dirinya. Kemudian ia membuka mata dan menatap mantap ke arah elevator itu penuh keberanian. Ia menekan tombol hijau di samping elevator, kemudian kedua pintu elevator itu tergeser ke samping. Elevator yang di dalamnya penuh debu itu terbuka.

Aroma debu yang sangat menyesakkan menyambut Liana. Terdapat aura-aura mengerikan yang muncul dari dalam elevator dan menyelimuti kulit Liana. Meski begitu, hanya ada satu hal yang ada di hatinya saat ini. “Aku ingin mengetahui kebenarannya.” Gumam Liana dengan suara pelan.

Kemudian ia pun masuk ke dalam elevator berdebu itu. Pintu elevator itu pun tertutup. Liana menekan tombol menuju lantai enam. Ia memejamkan matanya. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Meskipun ini hanya gosip belaka, namun, kakak kelas itu benar-benar menghilang.”

Liana menelan ludah. Ia tidak peduli meskipun itu hanya gosip. Ia sudah benar-benar siap dengan yang akan diterimanya. Ia sudah bersumpah dengan dirinya sendiri, jika cara ini tidak berhasil. Maka ia akan bunuh diri dengan lompat dari lantai enam nanti. Dan setelah itu, ia akan menanyakan kebenarannya pada Tuhan yang akan ia temui setelah ia bunuh diri nanti.

Beberapa detik kemudian, ia dapat merasakan dua tangan kurus kering yang menutup matanya dari belakangnya. Tangan yang sangat kasar dan dingin. Liana memang terkejut, namun ia tetap diam dan memfokuskan pikirannya pada apa yang ia inginkan. Terdengar suara bisikan seorang wanita tua. Sangat kecil namun jelas.

“Apa kau ingin tahu kebenarannya?”

Kemudian semuanya mulai berputar dengan cepat di pikiran Liana seperti kaset rusak. Ingatan-ingatan itu mulai muncul. Ingatan saat ia masih di sekolahnya yang dulu. Liana adalah anak yang terkenal karena kecantikannya. Namun ia sombong. Ia sangat senang melihat penderitaan orang lain, dan selalu menyakiti perasaan orang lain dengan perkataannya.

Ia ingat bagaimana ia selalu menindas seorang anak perempuan yang sangat cerdas namun lemah di kelasnya. Ia selalu memaki-maki anak itu, dan menyebarkan banyak berita bohong mengenai anak itu. Bahkan, ia pernah melapor ke guru kalau anak itu mencuri uang sakunya dan ponselnya, meskipun sebenarnya itu adalah kesalahannya.

Kemudian ia kembali ingat, bagaimana anak itu berteriak sambil menangis tersedu-sedu di depan Liana saat mereka sedang berbicara di atap sekolah berdua. Anak lemah itu berkata dengan tegas bahwa ia sudah tidak kuat dengan perlakuan Liana, dan ia juga berteriak bahwa ia tidak pernah mencuri. Liana tetap tidak mempercayai hal itu, dan mulai berbicara buruk mengenai ayah anak itu yang ketahuan mengemis di dekat rumah Liana. Liana bahkan berbicara kepada anak itu bagaimana ia mengatakan kepada ayah anak itu mengenai pencurian uangnya yang dilakukan oleh anaknya sendiri, dan ia juga memberitahu anak itu bagaimana ekspresi ayahnya yang benar-benar kecewa saat itu.

Kemudian ia ingat bagaimana anak itu menangis dan menjerit di depan Liana. Karena kaget dan takut akan didengar orang lain, dengan cepat Liana mendorong anak itu dari atap sekolahnya hingga jatuh ke bawah. Liana bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana wajah anak itu yang dipenuhi darah, kepalanya pecah hingga darahnya yang segar mengalir di area belakang sekolah. Meski begitu, ia masih bernafas, tangannya yang gemetar menulis sesuatu di tanah dengan darahnya. “Aku benci.” Kemudian anak itu mati dengan mata penuh kebencian.

Karena takut, Liana bergegas kabur dari tempat itu dan pulang ke rumahnya. Ia tidak masuk sekolah beberapa hari dengan alasan sakit, meskipun sebenarnya ia selalu mengingat wajah penuh kebencian anak itu dan juga wajah kecewa ayah anak itu karena perkataan Liana. Ia bahkan masih bisa mengingatnya bagaimana ia mendorong anak itu hingga jatuh dan mati.

Hal itu membuatnya frustrasi
dan depresi berat. Hingga akhirnya, jiwa dan psikologisnya terganggu dan ia mengalami penyakit gangguan jiwa berkepanjangan.

Sementara ingatannya diputar dengan cepat, matanya yang ditutupi tangan kurus itu mengeluarkan air mata menyesal. Semakin deras setiap detik ia mengingat kenangan kematian itu. Kemudian Liana kembali merasa depresi karena mengingat kejadian itu lagi, ia menjambak rambutnya sendiri dan menjerit kencang.

Ia adalah pembunuh. Pembunuh melalui perkataannya yang hina.


Di lantai enam, Nelly menunggu dengan rasa kekhawatiran penuh di depan pintu elevator yang masih menutup. Hatinya terus berdoa agar Liana selamat. Kemudian, terdengar suara penanda sampai dari elevator. Nelly memajukkan posisinya. Pintu elevator terbuka.

Yang ia lihat hanyalah elevator berdebu yang kosong.

No comments:

Post a Comment