Friday, December 2, 2016

Badai Salju


Badai Salju

Sudah tiga hari badai salju tidak kunjung reda. Kurasa, musim dingin tahun ini yang paling mengerikan dibanding tahun sebelumnya. Tapi, syukurlah masih libur sekolah. Jadi, aku tidak perlu repot-repot bangun pagi dan bergelut di tengah dinginnya udara.

Aku melirik jendela. Angin masih bertiup ganas di luar sana. Tak ada satupun kendaraan yang melintas atau orang-orang yang berjalan. Lalu mataku tertuju pada ibu yang sedang memakai mantel cokelatnya. Kedua orangtuaku akan ke rumah nenek. Katanya, nenek sedang sakit. Ibu dan ayah mengajakku tapi aku menolak. Ke luar rumah di tengah badai begini? Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah seharian dan menonton tv.

Aku mengintip di balik pintu, menatap mobil ayah yang semakin menjauh. Setelah itu aku segera menutup pintu lalu menguncinya tiga kali.
“Dingin sekali!” ujarku meniup kedua telapak tangan.

Hari sudah hampir malam. Namun, ayah dan ibu belum pulang juga. Aku masih setia duduk di ranjang, membaca novel ditemani cokelat panas dan biskuit.
“Kenapa lama sekali?” gumamku sedikit gusar, segera kuambil sweater motif kelinci di lemari. Sial! Padahal aku sudah memakai pakaian berlapis-lapis, tapi tetap saja kedinginan.

Aku berjalan ke arah jendela. Menghembuskan napas di kaca kemudian mengelapnya menggunakan siku. Aku memandang ke luar, lalu mataku tanpa sengaja menangkap sesuatu. Ada jejak kaki yang memenuhi halaman samping rumah lalu berbelok ke arah halaman depan. Jejak-jejak itu tercetak jelas di atas salju. Seolah-olah ada seseorang yang baru saja lewat disana. Aku mengerutkan kening. Siapa kira-kira yang berkeliaran saat badai? Karena penasaran, aku pun turun ke lantai bawah.

Angin berhembus kencang menerpa wajah ketika aku membuka pintu. Aku melirik sekeliling. Tapi, aku tidak bisa menemukan jejak aneh tersebut. Ketika kualihkan pandangan ke depan. Ada seseorang di sana, berdiri di seberang jalan, dia tinggi dan sangat kurus. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena angin bertiup kencang. Yang kutahu hanyalah seluruh tubuhnya berwarna hitam. Aku belum pernah melihatnya. Dia melambaikan tangannya ke arahku, tangan kurus itu bergerak dengan lambat dan kaku. Bunyi “ngiiik!!” terdengar nyaring di telinga tiap kali ia melambaikan tangannya.
Aku menyipitkan mata, “hei, apa yang kau lakukan disana!? Kau bisa kedinginan!” teriakku. Dia tidak menjawab, masih diam di tempat. Aku terdiam, tanpa sadar kakiku berjalan ke arah sosok itu. Sepertinya dia mengatakan sesuatu tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Sialan badai ini!
“Aku tidak bisa mendengarmu!” ucapku gemetar menahan dingin. Sosok itu masih melambaikan tangan.
Tiba-tiba langkahku berhenti. Jarak kami hanya beberapa meter. Wajahku memucat dan mataku terbelalak sempurna ketika memandangnya. Sosok itu memiliki jari yang panjang dan kuku seruncing ujung jarum. Wajahnya… wajahnya rata! Tanpa hidung, mata? hanya mulut penuh gigi taring yang ia punya. Seluruh tubuhku terasa membeku saat melihatnya menyeringai dengan sangat lebar, hampir memenuhi setengah wajahnya.

Semua menjadi hening, deru angin tidak lagi terdengar olehku. Seakan-akan aku sedang berada di dimensi lain. Leherku seperti dililit sesuatu hingga aku tidak bisa berteriak atau bernapas sedangkan mataku masih menatapnya, mulut lebarnya bergerak pelan. Aku mencoba menerka apa yang ia ucapkan. Kemudian, samar-samar aku mendengar suara.
“Mati!”
“Mati!”
“Mati!”
Napasku tercekat, belum sempat aku menoleh ke samping, sesuatu menabrak tubuhku hingga terdengar bunyi “brak!!” yang sangat keras. Seketika aku merasa semuanya menjadi gelap. Namun aku masih bisa mendengar suara tawanya yang serak dan menyeramkan.

No comments:

Post a Comment