Friday, December 2, 2016

Tumbal


Tumbal

Aku seorang pelajar SMA, aku mengambil jurusan IPS karena aku memang suka ilmu sosial aku juga suka ilmu psikologi. Aku adalah anak dari keluarga yang berbahagia. Sore itu aku berkeliling komplek dengan menggunakan sepeda sambil mendegarkan musik dan menikmati senja hari hanya sendiri. Tanpa sadar hari sudah mulai gelap waktu menunjukan pukul 17:00 dan aku pun bergegas untuk pulang. Saat aku akan menggowes sepedaku menuju rumah aku mendengar teriakan seorang wanita dari belakang, “Tolooooong”, sontak aku menoleh ke belakang dan aku datangi teriakan itu yang nampaknya berada di rumah kosong ujung jalan pinggir makam sana. Aku datangi secara perlahan dengan rasa ketakutan aku buka pintunya secara perlahan dan keadaan di dalam sangat gelap dan tidak ada siapa-siapa, aku pun kembali bergegas ke luar dan menutup pintu rumah kosong itu dengan keras, “BraaaaK”, “Aaaaaaa…” aku kaget karena setelah menutup pintu itu terdengar suara wanita menjerit dan kembali kubuka pintunya dan… “kakaaaak, kakak kenapaaa? Teriakku melihat kakakku dalam keadaan tel*njang dan bersimbah darah. “kakaaaaak, toloooong!!!”

“Surya, surya bangun nak, ini sudah pagi kamu harus berangkat sekolah!”. Seketika itu aku bangun karena mendengar Ibu membangunkanku, dan ternyata kejadian itu hanya mimpi. Aku pun bergegas dari tempat tidurku menuju kamar mandi setelah itu aku sarapan kemudian pamit sama Ayah dan Ibu, “Yah, Bu, aku berangkat yah, ayo dong kak jangan kebanyakan dandan tar aku terlambat lagi”. Aku pun berangkat sekolah dengan diantar kakakku Dewi yang cantik nomor dua ini.

Di perjalanan kami asyik mengobrol. “kak, semalam aku mimpi buruk, aku bermimpi ka Minah terbunuh dalam keadaan tel*njang di rumah kosong”. Ceritaku pada ka Dewi. “Ah kamu, kalau mimpi suka bikin orang ketakutan, boong kamu yah?”. Kata kak Dewi. “Enggak kak aku beneran mimpi kaya gitu, aku takut ini pertanda buruk kak”. Jawab aku. “itu Cuma mimpi kelleeez”, jawab Kak Dewi.
Beberapa menit kemudian. “udah gih sana sekolah yang rajin, Ya doain kakak yah biar keterima kerjanya”. Kata kak Dewi.
Dan aku pun turun dari mobil dan masuk gerbang sekolah menuju kelas keadaan mulai aneh pada saat berjalan aku banyak dilihatin oleh temen-temen dengan tatapan datar.

Setibanya di kelas aku duduk dan Ibu guru datang memulai pelajaran, 3 jam berlalu waktu istirahat tiba, aku pun akan pergi ke kantin tiba-tiba Ibu guru menegurku.
“Surya mulai sekarang kamu harus berhati-hati”. Kata Ibu guru. “Emang kenapa bu?”. Tanyaku, tapi Ibu langsung meninggalkanku begitu saja tanpa memberi jawaban atas pertanyaanku.

Malam harinya kami sekeluarga berkumpul sambil nonton TV, saat itu kami sedang melihat acara berita tentang kasus kekerasan s*ksual, “Jaman sekarang dunia sudah mulai menggila”, Kata Ayah. “kasihan banget, seharusnya pelaku dihukum gant…”. tiba-tiba lampu mati semua gelap. “gan apa bu?” tanyaku. “gantuung”. Jawab ibu. Semua lampu rumah mati komplek dalam keadaan gelap. “Ya udahlah kita tidur aja lagian udah jam 9 malam ayo tidur”, perintah Ayah. Dan kami pun bergegas ke kamar masing-masing dengan lilin di tangan, sementara aku masih melihat-lihat keadaan di luar lewat jendela, suara petir terdengar keras angin berhembus kencang nampaknya hujan akan turun. “Surya lagi ngapain kamu?, cepet tidur”, perintah Ibu. “Iya sebentar buu”, jawabku. Aku masih saja melihat-lihat keadaan di luar yang nampak gelap, tiba-tiba ada yang mencolek pundakku “Iya bentar Ibbb buh”, aku kaget ada yang mencolek pundakku tapi saat aku menoleh ke belakang aku tidak melihat siapa-siapa dan aku pun berlari menuju kamar ku, saat aku berlari aku mendengar suara jendela yang digebrak-gebrak aku berhenti berlari dan memalingkan wajahku ke arah jendela dan aku melihat sesosok hitam di jendela itu sedang melihat ke arahku sambil memegang sebuah kapak sontak aku berteriak “Ibuuuuuu”, teriakku. Ayah, Ibu, kakak dan adik ku pun terbangun dan keluar kamar sambil berlari. “Ada apa surya?” tanya Ayah. “tttaadi akku melihat sosok hitam memakai topeng bermata satu di jendela itu dan memegang sebuah kapak”, jawabku sambil gemetaran. “ah kamu, mungkin itu Cuma halusinasi kamu aja, udahlah mending kamu cepet tidur”, perintah Ibu.
Aku pun pergi ke kamarku dan keluargaku pun kembali ke kamar masing-masing. Mataku mulai lelah dan aku pun membaringkan tubuhku di tempat tidur walau ada rasa takut tapi karena lelah aku pun tertidur.

Beberapa jam kemudian. “Ah… masih gelap, lilinnya mati”, kataku. Aku terbangun aku ambil handphoneku untuk menerangi kamarku yang gelap, aku serasa ingin pipis aku pun pergi ke kamar mandi, setelah selesai aku kembali menuju kamar namun tiba-tiba orang bertopeng mata satu dengan kapak itu muncul lagi ia melihat aku dan berlari menuju kamar Kak Minah aku pun mengikutinya.
“Hhe siapa kamu?, kamu mau ngapain Kakakku eh jangaaaan”, kataku. Aku terbujur kaku aku tak bisa gerak dan tak bisa berbicara aku didudukan di kursi oleh orang misterius itu.
“Tenang nak, kamu hanya terbujur kaku saja, tapi tetap bisa melihat dan mendengar cuma satu jam kok”, kata dia. Lampu kembali menyala sementara itu Kak Minah diperlakukan secara kasar oleh dia, dia meracuni Kak Minah dan melakukan tindakan pemerk*saan terhadap Kak Minah semua pakaian Kak Minah dilepaskan oleh dia. Kak Minah hanya terbujur kaku seperti aku dan aku pun hanya bisa diam melihat semua itu. Lama dia memperk*sa dan melakukan tindak kekerasan s*ksual pada Kak Minah dia pun membunuh Kak Minah dengan sadis. Dalam hati aku menjerit, “Jangaaaaaan anj*ng lu set*n, kamu biadab toloooong Ayah Ibu tolooooong”, teriakku dalam hati.

Satu jam sudah dan aku pun kembali normal seperti biasa. Aku menghamipri Kakakku walau masih terasa lemah tubuhku sambil terjatuh, aku memeluk Kakakku dan menangis sejadi-jadinya “Kakaaaaaak, Ayah Ibu toloooooong he…he…he…”, tangisku sambil berteriak. Sementara orang misterius itu pergi melarikan diri. Ayah Ibu Kak Dewi dan Neni pun berdatangan ke kamar Kak Minah mereka semua terkejut saat melihat Kak Minah bersimbah darah. Mereka semua menangis menjerit sementara itu Ibu pingsan. Dan waktu menunjukkan pukul 04:30 adzan subuh pun terdengar.

Paginya semua orang berdatangan ke rumah kami untuk melihat keadaan Ka Minah dan mendengarkan ceritaku dan polisi membawa mayat Kak Minah untuk diautopsi, semua kejadian telah ku ceritakan pada keluarga kerabat dan polisi. Sementara polisi akan menyelidiki dan mencari siapa sebenarnya orang bertopeng mata satu dengan kapak itu.

Lama diautopsi jenazah Kak Minah dikembalikan pada keluarga kami dan diproses agar segera secepatnya dikuburkan. Setelah selesai jenazah Kak Minah dishalatkan kemudian dikuburkan, sementara Ayah Ibu Kak Dewi dan Neni menangis dan masih shock atas kejadian ini.

Tujuh hari berlalu kejadian yang membuat keluargaku sangat trauma dan ketakutan apalagi aku yang menyaksikan penyiksaan terhadap Kak Minah secara langsung. Sementara itu aku kembali pada aktivitasku belajar. Di sekolah aku banyak menerima ucapan ‘turut berduka cita’, nampaknya semua orang bersimpati pada kejadian yang menimpa Kak Minah.

Sorenya aku kembali berkeliling komplek dengan menggunakan sepeda untuk menghilangkan segala rasa trauma dan takut anggap saja refreshing. Aku pergi menuju sungai yang cukup jauh dari komplek tepatnya di Desa Pasir Angin, sebenarnya aku takut karena sungai ini berada di hutan tapi karena keindahannya aku beranikan diri, lagi pula banyak pemuda pemudi yang sedang asyik pacaran di tempat indah ini. Aku termenung disana sambil bermain air dan mendengarkan lagu klasik.

Tanpa terasa hari sudah mulai gelap waktu menunjukan pukul 17:35 dan di sungai ini tinggal hanya ada aku seorang. Aku pun bergegas untuk pulang aku naiki sepedaku dan mulai ku gowes namun saat aku akan pulang tiba-tiba saja ada teriakan dari belakang “Tolooooong”, sontak aku terkejut dan menoleh ke arah belakang. Aku sangat terkejut karena melihat Kak Dewi di seberang sungai yang dalam keadaan terancam, orang bertopeng itu kembali mengacam keluargaku ia mengancam Kak Dewi mengarahkan kapaknya pada leher Kak Dewi. Dan aku pun langsung berlari menghampirinya dengan menyeberangi sungai celanaku pun basah kuyup, ia melepaskan Kak Dewi aku mencoba melawannya pertikaian terjadi antara aku dan orang itu sedangkan Kak Dewi terkulai lemas dan terjatuh. Aku menendangnya dan ia pun terjatuh tapi tak lama ia bangkit kembali ia menendangku dan aku terjatuh ke sungai pakaianku basah kuyup aku kembali bangkit untuk menghajar orang itu namun aku tak mampu melawannya ia membekamku dengan racun yang sama aku pun terbujur kaku tak bergerak. Ia mengikatku pada pohon. Dan kembali kejadian ini terulang orang itu memperk*sa Kak Dewi namun Kak Dewi tak diracun yang dapat membuatnya terbujur kaku ia memperlakukan Kak Dewi secara kasar “jangaaaan, kamu jangan perk*sa saya toloooong”, teriak Kak Dewi. Sedangkan aku hanya bisa melihat penderitaan kakakku dan tak bisa apa-apa.

Setelah puas orang bertopeng itu membunuh Kak Dewi, aku hanya bisa menangis dan terbujur kaku, orang itu menghamipri ku ia menatapku dan melepaskanku kemudian langsung pergi. Keadaan sangat gelap di hutan, tak lama aku pun kembali normal seperti semula seketika itu aku teriak “Toloooooong, Ayah Ibu Toloooong”, teriakku sambil menangis. Dalam keadaan tubuhku yang masih lemas aku berlari menuju rumah sedangkan perjalanan cukup jauh aku tak menemukan sepedaku sepedaku hilang.

Aku berlari dan terus berlari di hutan ini menuju jalan raya. Namun keanehan terjadi aku nampaknya hanya berputar-putar saja di hutan ini “kenapa ini?, ada apa dengan aku?”, tanyaku dalam kebingungan. Tiba-tiba saja di hadapan ku ada orang bertopeng mata satu itu dengan mengangkatkan kapaknya ke arahku sontak aku terkejut dan aku pun berlari ketakutan aku terjatuh tersandung, kakiku berdarah sementara orang itu semakin mendekat aku berusaha untuk bangkit dan kembali berlari. Lama aku berlari nampaknya aku masuk ke pedalaman hutan dan orang itu hilang entah kemana, aku pun melihat sebuah gubuk tua di hutan itu kudekati gubuk itu kubuka pintunya dan ahhhgggrrr menakutkan aku melihat banyak kepala manusia digantung tanpa tubuh dengan berceceran darah di lantai. Di dalam sangat kotor dan sangat bau tapi aku melihat sebuah lukisan perempuan sangat cantik dengan kebaya yang indah kupandangi lukisan itu cukup lama namun tiba-tiba aku dikejutkan dengan semua kepala manusia yang digantung itu mereka semua hidup matanya melotot ke arahku dan berkata dengan serentak “Lepaskan saya”, sontak aku terkejut dan berlari meninggalkan gubuk tua itu. Berlari dan terus berlari akhirnya aku tiba di jalan raya sejenak aku istirahat tak lama aku pun kembali berlari menuju rumah satu jam sudah aku berlari menuju rumah dan akhirnya sampai kubuka pintu rumah dengan tergesa-gesa lalu aku pinggil Ayah dan Ibu ku “Ayah, Ibu Kak Dewi bu… ia terbunuh, ibu..” ku panggil Ayah dan Ibu ku namun mereka semua tidak menjawabku buka pintu kamarnya juga tak ada. “Neni kamu dimana?” tanyaku mencari keberadaan Neni. Namun semuanya gak ada kemudian aku pergi ke halaman belakang rumah dan disanalah aku terkejut mereka semua berada disana dalam keadaan tel*njang dan bersimbah darah seketika itu aku menangis, menjerit dan berteriak sejadi-jadinya
“Ayaaaaaaaaah, Ibuuuuuuuuu, Neniiii… heeeee… heeeee… heeeee…”, teriakku sambil menangis. Kupeluk Ayah Ibu dan Adikku aku menangis aku marah pada semua ini namun tiba-tiba di hadapan ku aku melihat orang bertopeng mata satu dengan memegang kapak dan berlumuran darah ia menatapku dan aku pun menatapnya dengan penuh kemurkaan ia berkata “Jambung, aku Jambung, aku Jambung”. Seketika itu aku terkulai lemah kepalaku pusing dan mual-mual aku muntah-muntah awalnya muntahku biasa saja namun tak lama aku muntah darah dan aku pun pingsan.

Kubuka mata ku perlahan terasa berat rasanya aku masih pusing semua ruangan nampak putih, kulihat seorang perempuan berpakaian serba putih yang nampaknya seorang dokter berada di samping ku “Ah… berada dimana aku?” tanyaku dalam kebingungan. “Tenang nak, kamu sekarang berada di rumah sakit”. Jawab orang itu. “Sudah berapa lama aku disini?”, tanyaku. “Sudah 4 hari kamu di sini dan tak sadarkan diri”, jawab dokter. Aku masih merasa pusing dan bingung beberapa menit ku terdiam dan aku pun ingat pada kejadian yang menimpaku. “Dimana keluargaku? Ayahku, Ibuku Kakak dan Adikku?, dimana mereka semuaaaaa?”, tanya ku pada perempuan itu sambi berteriak. “Dimana mereka semuaaaa?, bawa aku pada mereka sekarang, cepaaaat”. Pintaku ku pada dokter itu. “Tenang nak, tenang, kamu tenang dulu lebih baik kamu istirahat saja”. Dokter itu mencoba menenangkanku. “Tidak, tidak, bawa aku pada Ayah Ibu Kakak dan Adikku, beritahu aku mereka semua ada dimana?”. Tanyaku.
“Ayah, Ibu, Kakak dan Adikmu sekarang sudah tenang, sudah berada di tempat yang indah jadi kamu jangan khawatir”. Jawab dokter itu. “Antarkan aku pada mereka semua, sekarang juga”, Pintaku. “Surya, keluargamu sudah berada di surga, mereka semua sudah tidak ada di dunia ini”. Jawab dokter. “Tidaaaak, biarkan aku kesana untuk berjumpa dengan mereka, tolong lepaskan saya biarkan saya pergi lepaskan sayaaaaaa, lepaskaaaaaan”. Tubuhku dipegang erat oleh para suster aku berontak aku marah. “Mana Jambung? Mana dia? Dia yang membunuh keluargaku, biar kubakar dia, lepaskan sayaaa”. Tanya ku.

Sudah cukup lama aku berada di rumah sakit ini, bosan aku. Aku mencoba keluar kamar aku naik ke lantai paling atas disana aku dapat merasakan angin begitu kencang ku rasakan belaian lembut setiap hembusan angin. Kuhirup udara segar dan kunikmati semua ini. Tiba-tiba ada seseorang menyapaku dari belakang “Surya, apa kabar?”. Aku menengok ke belakang dan dia… Jambung. “kenapa kamu memperk*sa dan membunuh keluarga saya?”, tanyaku. “Untuk Tumbal agar kaya dan berkuasa”, jawab Jambung. “Biadab kamuuuu, AHhhKKkk…”. Dia melemparkan kapaknya ke kepalaku dan tertancap di kepalaku dia mendorongku dan aku terjatuh dari lantai paling atas rumah sakit itu… GELAP.

Terdampar di Dimensi Lain


Terdampar di Dimensi Lain

Aku baru saja mulai menapaki jejak-jejak petualangan dalam mimpiku ketika jeritan keras yang berasal dari ruang tamu kudengar, aku langsung terbangun, jantungku berdebar tak menentu, kesadaranku belum benar-benar terkendali, mataku masih memandang samar-samar. Dengan langkah gontai aku menuju ruang tamu yang entah kenapa mati lampu, kupaksa retinaku agar terbiasa secepat mungkin dengan keadaan sekitarku. Klik! Lampu menyala dan hal pertama yang menjadi titik fokus pandangku adalah keadaan ruang tamu amburadul bagai kapal pecah, sofa terkoyak sana sini, dua buah lampu hias pecah berserakan di lantai, dan yang paling mengerikan yaitu darah berceceran di semua tempat, dinding yang dicat putih, kini bercampur darah. Aku mematung, otakku tak bisa berkompromi dengan apa yang kulihat, aku gemetar hebat.

Aku kumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk mencari sumber daripada ceceran darah itu. Aku melangkah perlahan dan pelan, ada bekas pijakan di samping sofa menuju ke dapur. Kuputuskan untuk mengikuti jejak itu, makin mendekati dapur, darah yang menjadi jejak pijakan itu semakin mengental dan banyak. Bau amis mulai menusuk hidung hingga perutku mual rasanya. Keringat membasahi area pelipis dan dahiku bercampur dengan kecemasan tentang hal apa yang sedang terjadi menimpa keluargaku.

Di pintu dapur, aku mulai berjalan sepelan mungkin ke arah gudang yang terletak hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri, pintunya sengaja dibikin mirip dengan pintu lemari untuk mengecoh siapa saja yang baru datang di rumah kami. Aku benar-benar takut kali ini. Aku mengintip dari celah pintu yang tidak terlalu besar.

Tiba-tiba ada sesuatu yang berjalan memasuki dapur, suaranya terdengar sengau dan berat, kakinya berbulu hitam lebat, cakar hitam yang tajam, dan oh dia menyeret sesuatu. Sesuatu itu adalah Sepupuku Linda yang menginap di rumahku. Diangkatnya Linda ke atas meja makan di tengah ruangan, perutku makin mual ketika melihat kepala Linda yang hancur setengah bagian, mata kirinya copot, wajahnya penuh cakaran. Oh my god! Makhluk apa ini sebenarnya, jeritku tertahan. Dengan cakarnya yang tajam, makhluk yang ternyata bertaring dan bermata merah itu mencabik tubuh Linda yang tergolek tak berdaya, makhluk buas itu melakukannya tanpa henti hingga usus Linda berpindah tempat, bercampur darah yang juga berceceran kemana-mana.

Kengerian kian menyelimutiku, aku melangkah mundur. Baru kali ini seorang Vera Zenny mengalami hal seperti ini, wajar saja bila ketakutanku memuncak. Praakk!! Bunyi keranjang yang jatuh karena tersenggol olehku, matilah aku. Jangan sampai makhluk buas itu menemukanku, keringat bercucuran deras ke seluruh tubuhku. Mataku fokus mengawasi celah yang tadi menjadi tempaku mengintip dan ada siluet yang bergerak maju ke arah gudang, ke arahku. Tuhan, tolong aku! Butiran hangat perlahan membasahi pipiku lagi dan lagi, hingga pintu itu benar-benar dibuka yang menimbulkan bunyi memilukan.

Kini di hadapanku berdiri makhluk bertubuh tegap dengan tonjolan tak beraturan di sekujur tubuhnya, mata merah menyala, taring tajam, cakar panjang penuh darah, dan bau tubuhnya sangat menyengat. Jejak-jejak darah masih ada di wajahnya yang bersisik. Aaaaaaaaaaaa!!!! Aku menjerit sekeras-kerasnya ketika tangan makhluk buas itu menyentuh pipiku, kulitnya begitu kasar. Namun tiba-tiba dilepas, aku mendengar namaku dipanggil.

Kupaksa mataku agar terbuka, kulihat ibuku tengah memandangku prihatin. Matanya meneduhkanku, “Kamu demam sayang, jadi mimpi yang aneh-aneh” ucap beliau lembut. Kemudian memelukku, aku tersenyum, nyaman. Kutepis semua rasa kekhawatiranku.
Semoga tak ada mimpi aneh lagi.

Ruangan Berhantu


Ruangan Berhantu

Hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, semua siswa ketakutan setelah mengalami insiden itu. Temanku yang memasuki ruangan itu meninggal, temanku yang bernama Chanzeol biasa kupanggil chan-chan, dia suka sekali menerima tantangan karena dia tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah swt. Pada hari itu dia dengar bahwa di sebelah kelas kami itu ada ruangan yang angker. Temanku yang bernama Zahra dia perempuan yang duduk di belakangku, menceritakan kronologis tentang ruang sebelah kelas kami. Tapi chan-chan malah tidak percaya sampai Zahra kesal padanya, saking kesalnya chan-chan ditantang Zahra untuk memasuki ruang itu pada malam hari.
“Aku terima tantanganmu, tidak ada yang begituan.” kata chan-chan angkuh.
“Tapi chan, kamu yakin?” tanyaku khawatir.
“Tidak apa.” ucapnya.
“Aku temani ya!” aku memohon karena chan-chan sahabatku.
“Boleh tapi kamu jangan takut!”
“Ya.”

Sepulang sekolah aku merebahkan diri ke kasur karena lelah. Kupikir-pikir nanti bagaimana ya jika aku dan chan-chan jadi merinding. Kata Zahra dahulu ada seorang siswa di sekolahku yang selalu dibully lalu dia ke ruangan tersebut entah apa yang dilakukan. Saat di toilet teman yang ngebullynya datang dan membunuh wanita tersebut. Lalu mayatnya dibuang ke ruangan tersebut. Setelah beberapa hari kemudian saat Raisa (anak yang bunuh Sita) memasuki ruangan itu untuk mengambil barang, dia dibunuh Sita seketika. Setelah kejadian tersebut ruangan itu pun ditutup.

Aku pun mengemasi barang untuk menyelidiki ruangan itu bersama chan-chan. Saat malam tiba aku dan chan-chan bertemu di depan sekolah. Pertama aku mengawasi pak penjaga agar tidak melihat saat kami masuk, dan chan-chan mencari jalan untuk memasuki sekolah. Setelah kami masuk, kami pun memasuki ruangan itu. Tetapi terkunci, kami melihat jendela yang terbuka kami pun masuk lewat jendela.

Aku dan chan-chan melihat seseorang di sudut pojok ruangan itu, lalu aku mendekati seseorang itu. Aku pun bertanya kepadanya.
“Sipa kau? aku tidak pernah melihatmu di sekolah ini dan kenapa kamu malam-malam di sini.”
Dan dia hanya diam.
“Hei jawablah aku.”
Lalu seseorang itu menjawab dengan sura menakutkan.
“Aku Sita.”
“Sita, kamu yang meninggal di ruangan ini.”
“Aku masih ingin balas dendam. Kamu akan menjadi korbanku selanjutnya.”
Aku pun memberhentikannya.
“Tunggu Sita, yang membunuhmu sudah meninggal dan balas dendam itu dosa Sita, Ibumu bunuh diri karena kamu meninggal kan. Apa kamu ingin ibumu tersiksa?” kataku
“Aku tahu kamu sakit hati, tapi kenapa kamu harus membunuh orang yang tidak bersalah. Kasihan ibumu Sita, biarkan ibumu tenang.”
Lalu Sita pun berkata.
“Benar kata kalian. maafkan aku, aku minta tolong. Kuburkanlah jasadku yang ada di sudut ruangan ini yang tertutup kain putih.”
Lalu Sita pun menghilang. Dan chan-chan menemukannya.
“Mari kita kuburkan jasad ini.” kataku
“Kita harus berkata pada pak penjaga.” kata chan

Kami pun mencari pak penjaga, pak penjaga pun datang.
“Anak-anak kenapa kalian ada di sini malam-malam begini.”
“Pak kami menemukan jasad Sita di ruangan itu.” kataku memberitahu.
“Ya sudah mari kita kuburkan bersama.”
Sejak saat itu Sita tidak mengganggu di sekolah ini lagi. Dia pasti sudah bahagia.

Hantu Berlumuran Darah


Hantu Berlumuran Darah

Pukul 12.00 malam. Aku terbangun karena aku ingin buang air kecil. Pada saat mau ke kamar mandi aku melihat sosok seorang wanita yang berlumuran darah. Lalu aku mendekatinya dan melihat baik-baik bukan malah menjauhinya. Lalu sosok wanita berlumuran darah itu pun menghilang begitu saja saat aku mendekatinya. Sebelum menghilang sosok wanita itupun berbicara padaku “aku akan menemuimu jam 08.00 di sekolahmu” selesai berkata kata sosok itu pun menghilang. Lalu aku langsung ke kamar mandi dan buang air kecil.

Setelah ke kamar mandi aku langsung kembali ke kamar tidur. Untung aku tidur bersama kakakku dan adikku. Aku pojok kiri kalau kakakku pojok kanan kalau adikku tengah soalnya dia kan yang paling kecil. Lalu aku membangunkan kakakku untuk memberitahu tadi pas di kamar mandi ada hantu. Lalu aku pun membangunkan kakakku “kakak bangun dong tadi Alic ngelihat hantu pas Alic mau pergi ke kamar mandi.” “udah kamu jangan ngada-ngada aja di rumah ini tu nggak ada hantunya tau.” kata kakak kepada Alic. “Tapi beneran kak aku nggak bohong tadi Alic ngelihat hantu” “udah kamu jangan banyak ngayal terus sana tidur” kata kakak pada Alic. “Ya udah ah kakak nggak percaya sama aku, mending aku tidur aja ah, huahhhh” aku berkata sambil mengantuk.

Pukul 07.00 pagi kriiing kriiing kriiing bel jam pun berbunyi jam menunjukan pukul tujuh “hah jam tujuh pagi!”. “Kenapa sih kakak nggak bangunin aku?” bentakku kepada kakak. “Habisnya kamu dibangunin nggak bangun-bangun sih makannya kakak tinggal kamu, udah sana mandi dulu, ayah sama bunda udah nunggu kamu di bawah” “iya iya kak bawel”. Lalu aku pun mandi.

Setelah mandi aku pun pergi ke bawah untuk sarapan pagi. Lalu aku pun menyapa ayah dan bunda “selamat pagi ayah, selamat pagi bunda” lalu ayah dan bunda pun membalasnya “selamat pagi juga sayang” balas mereka bersamaan. Lalu setelah sarapan aku dan kakakku pun pergi ke sekolah. Aku kelas 3 sementara kakakku kelas 5. Lalu aku pun masuk kelas dan menceritakan kejadian semalam kepada charles temanku. “Les charles kamu tahu enggak aku tadi malen ngelihat sosok wanita berlumuran darah pas aku mau ke kamar mandi” kataku kepada charles. “Masa iya, beneran?” tanya charles dengan penuh penasaran. “Iya beneran les tadi malem aku ngelihat hantu itu” jawabku. “Oh iya aku belum ceritain sama kamu dulu rumah itu ada penghuninya seorang satu laki-laki sama perempuan. Mereka itu pacaran terus tiba-tiba laki-laki itu selingkuhan dengan cewek lain terus pas cewek itu tau dia langsung bunuh diri menancapkan pisau ke jantungnya terus cewek itu tewas deh. Sebelum dia tewas dia bersumpah kalau ada yang nempatin rumahnya itu bakal dia bunuh, jadi makannya alic kamu harus segera pindah dari rumah yang serem itu” katanya charles. “Iya les aku akan segera pindah dari rumah yang serem itu nanti habis pulang sekolah aku akan segera bilang sama orangtuaku kalau mau pindah dari rumah yang serem itu.”

Bel masuk itu pun berbunyi dan guru menjelaskan pelajara pkn, setelah itu bel berbunyi lagi tanda sudah pulang. Lalu setelah pulang sekolah Alic berbicara kepada bundanya “bunda ayuk kita pindah rumah aja yuk kata temenku rumah ini serem ibu ayooo pindaaah” kataku sambil merengek. “Ya udah kita pindah dari rumah ini kalau kamu mau” kata ibu kepadaku. “yeeees aku saaaayaaaang bunda”. Lalu setelah kejadian itu aku pindah rumah dan hidupku sekarang menjadi nyaman.

Wahana Rumah Hantu


Wahana Rumah Hantu

Hari ini Paman akan menceritakan tentang seseorang yang tidak takut dengan hantu yang akhirnya bertemu dengan hantu.

“paman, ceritanya pasti seru kan?”
“tentu saja, keponakanku. Bahkan sangat menarik”

Ada seorang anak bernama Reno dari kecil ia tidak pernah takut dengan wahana rumah hantu. Bisa saja ia mengelilingi rumah hantu sampai sepuluh kali dalam sehari karena ia tahu hantu di wahana seperti itu palsu.

Dino. Satu-satunya teman yang takut dengan rumah hantu, saking takutnya ia bisa menangis histeris sampai terkecing-kencing.
Pernah karena iseng, teman-temanya mengerjai Dino habis-habisan sampai ia menangis dan parahnya Reno yang mengusulkan untuk mengerjai Dino dan mereka meninggalkan Dino sendirian di wahana yang sangat ditakutinya itu.

Sejak kejadian itu Dino berubah. Dino suka tertawa sendiri, melamun dan berbicara sendiri. Ya, ia jadi gila. Dino dimasukan ke rumah sakit jiwa oleh orangtuanya karena bertambah parah. Dan mereka sangat menyesal telah mengerjainya.

Besoknya terdengar berita bahwa ada salah satu pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Dan hari itu Reno pulang malam karena harus mengikuti pelajaran tambahan. “Ya ampun seharusnya aku belajar lebih rajin agar tidak perlu ikut pelajaran tambahan sampai larut malam begini memang sekolah menyebalkan” umpat Reno kepada angin yang berhembus. Tentu saja tidak ada yang mendengarkan.

Tap tap tap
Ada yang mengikutinya malam itu, “Siapa itu?” baru satu gerakan. tapi apa daya ia kalah cepat. Obat bius telah menguasai dirinya.

Saat Reno terbangun. Ia berada di sebuah kereta, kereta yang sempit. Ia sadar ini sebuah taman bermain dan tampaknya kereta ini baru memasuki area rumah hantu. Tempat yang gelap. Tangannya meraba seluruh badan dan matanya memperhatikan sekeliling. Mainan-mainan yang dicat dan dihias seram agar menakuti pengunjung menghiasi lorong panjang ini.

Kereta masih melaju. Suara-suara seram juga bergema seperti halnya rumah hantu biasa. Pengunjung lain di depan juga tampak memperhatikan dengan seksama.

“Waktu berlalu dan sudah 20 menit kereta ini melaju, seharusnya kita sudah keluar. Selama itu kah?” Gumamnya
“Pak” panggil Reno sambil menepuk pundak bapak itu.
“Pak, permisi. Saya ingin tahu kapan wahana rumah hantu ini akan berakhir?” Tapi bapak itu tidak menengok juga.
Ia tau ada yang tidak normal. Ia sudah merasakan hawa yang tidak enak. Tapi ia berusaha tetap tenang.

Selang beberapa waktu bapak itu menoleh ke belakang tapi buluk kuduknya seketika berdiri dan refleks tangannya mendekap mulut. Kepala bapak itu berputar 180 derajat Menatap Reno.
“wajahnya wa-w.. wajahnya sama dengan boneka-boneka di wahana ini, kepala berdarah juga mata yang bengkak. Bau busuk ini Membuatku ingin muntah.”
Kemudian ia berkata dengan senyum menyeringai “Baru dimulai anak muda”
Suara tawa yang menyesakan hati terdengar dari barisan belakang sampai depan. Kepala mereka semua berputar menatap tajam pada Reno.
Mereka semua bukan manusia.

Ia tidak percaya, tidak. Tidak. pasti mereka hanya manusia. Pasti ini hanya mimpi. Ia mencoba menepuk pipinya sendiri.
“auww, sakit”
Iya tau ini bukan mimpi.

Tubuhnya membeku rasanya ia tak sanggup menggerakan kaki atau tangannya. Lidahnya kelu yang bisa ia lakukan hanya merenggut di bangku kereta. Tiba-tiba laju kereta bertambah cepat dan cepat bahkan sangat cepat tapi tak ada yang berteriak selain Reno. Ia memengang erat kereta karena keretanya melaju cepat vertikal ke bawah.

“Aaaaa”

Gubrakk
Kereta jatuh. Mayat-mayat di kereta Berjatuhan dan terlempar ke segala arah. Tidak terkecuali Reno. Ia terlempar jauh, dan jatuh di antara boneka-boneka hantu.
Dingin rasanya dingin ada yang menyentuhnya. Perlahan-lahan Reno mencoba membuka mata.

“ta-t..takut kah k-kamu pa.. da ka mi?”

Matanya tak bisa berkedip karena mayat berwajah putih pucat dan mata merah sekarang sedang mengacungkan pisaunya di depan matanya
“Bon-ne ka nya h-hi hidup, to t-to long jangan bunuh aku” mohon ia kepada hantu tersebut kemudian cahaya menghilang.
Ia pingsan.

Kalimat terakhir yang menyedihkan.

1 bulan kemudian.
“Boneka hantu, boneka, boneka pergi jangan ke sini, aku takut. gelap, aku takut mereka. Tolong aku. Aku ingin pulang”

“kasihan sekali dia, padahal masih muda sudah seperti itu” sambil menatap prihatin ke ruang VIP seorang remaja laki-laki.
“benar, kasihan sekali.” Sahut suster jaga yang kebetulan lewat.
Reno selamat, tapi ia menjadi tak waras dan dimasukan ke rumah sakit jiwa.

“paman ceritanya sangat seram. lalu, paman. Bagaimana dengan Dino? ”
“Dino sangat puas dan senang dendamnya terbalaskan. ia sudah sembuh dari phobianya kemudian ia merantau ke tempat lain, hidup bahagia dan punya keluarga besar”.

Cinta Beda Dunia


Cinta Beda Dunia

“rese banget sih jalangkung.. gile bener gue ditinggal. Malah gue lupa bawa dompet lagi.. argh.. sial!” gontok bayu sembari menendang kaleng yang ada didepannya. “adohhh!” itu suara seorang gadis misterius. “waduhh kena orang tu..” desis bayu sambil berjalan cepat pulang ke rumahnya. Hari ini nasib bayu terbilang buruk. Belakangan ini dia selalu diganggu makhluk lain. Tepatnya saat kepergian mila, pacarnya dulu. Dan sekarang, bayu harus jalan sendirian malam-malam karena ditinggal sahabatnya yang bernama gerald. Katanya mereka habis makan di cafe. Tak tahu kenapa sahabatnya yang bertubuh cungkring itu meninggalkan bayu. Mungkin sudah takdir kali!

Tak disangka mobil dengan kecepatan tinggi oleng mengarah pada bayu. Sontak bayu diam terkujur kaku, bukannya menghindar justru malah diam di tempat. Kaya di sinetron aja deh! Tapi untunglah takdir baiknya ada, entah angin dari mana bisa-bisa mobil itu berhenti tepat beberapa mili meter di depan bayu. “elo??…” ucap bayu ketika melihat sosok perempuan yang pernah ia kenal berusaha menghentikan mobilnya. “lari lo! Cepet! gue uda nggak kuat nii” ucap gadis itu yang bernama silvi. Bayu mengangguk-angguk dan menghindar dari mobil itu. Setelah semuanya baik, barulah silvi menghentikan mobil gila itu di depan pohon besar. “pengemudi edan!” deris bayu.

Silvi mulai kewalahan kehabisan tenaga. Gadis itu harus kembali ke rumahnya. Saat hendak mau terbang, tenaganya sudah tidak kuat menanggung badannya. gubrrakkk! silvi jatuh seketika. Bayu yang melihat hal itu langsung berlari menghampiri silvi. “heii.. heii..” ucap bayu memanggil gadis itu. Tak ada jawaban dari silvi. Kali ini bayu menyentuh wajahnya. Tidak bisa! Hanya bayangan! “oh iya, dia kan hantu” derisnya dalam hati. “aduhh…” kata silvi meratapi kepalanya ia setelah sadar. Silvi dan bayu saling menatap. Sama-sama diam tanpa kata. “kok gue deg-degan lagi sih?!” ucap mereka dalam hati. “gue mau pulang!” ketus silvi bangkit dan berjalan meninggalkan bayu. “aneh.. dia hantu kan? Tapi kok nggak keliatan seremnya ya. Cantik kok dia” deris bayu dalam hati. “woii hantu.. ehh maksudnya wooii manusia.. hah dia kan bukan manusia.. ehh alien.. astaga jelek banget.. ehh alah keburu pergi dah dia..”
Bayu dan silvi berpisah di tempat ini. Nasib si pengmudi? Dia selamat kok. Tapi entah kenapa penegemudi itu nggak keluar-keluar. Mabuk kali dia!

“silviii.. kenapa muka lo keringetan? habis ngangkat barbel ya?” ucap sepupunya, mila.
“tau ah!” jawab silvi singkat. Silvi duduk di atas genteng rumahnya. “belagu banget sih tu orang. Gue pikir gue mau ditolongi siap itu, ehh malah diam kayak patung!” gontok silvi. “lo nolongi siapa, sil?” ternyata mila membututinya sampai ke genteng rumah. “tu la.. gue habis nolongin laki-laki itu. Ehh dia malah diem aja nggak bantuin gue balik”
“cowok itu bisa ngelihat elo, sil?”
“hah?! Um.. nggak.. nggak.. nggak kok, mil. Gue kan Cuma gadis pemimpi. Haha mana mugkin!” silvi menunduk memandangi kalung gitarnya. Sudah lama ia tidak mendengarkan alat musik itu. Pikiran untuk menemui bayu masih terbesit dalam pikirannya. “gue mau cari udara segar! Byee mil…” ucap silvi langsung terbang ke arah barat dari rumahnya. Mila memutuskan untuk diam di rumah.

Setelah sampai di kamar bayu, silvi mendapati pemuda itu sudah tidur dengan nyenyak. “woi gue pinjem gitar lo ya!” bisik silvi. Dengan lihai, silvi mulai memainkan gitar milik bayu. Mendengar suara gadis bernyanyi dan alunan musik gitar membuat bayu terbangun dari tidurnya. Silvi tidak tahu bayu terbangun, asyik saja ia bernyanyi dengan suaranya. “gue mimpi kan?” ucap bayu sembari menampar-tampar wajahnya. “nggak.. gue nggak mimpi. Ini cewek beneran bisa main gitar. Hantu luar biasa dah!” desisnya dalam hati,
“ye.. just for you I give you all my heart” bayu ikutan bernyanyi. Silvi terdiam. “kok berhenti sih.. sini biar gue aja yang maini. Lo yang nyanyi” bayu duduk di depan kamarnya. tepatnya di luar kamar. Bayu mulai memetik gitar itu. Deg.. deg itu suara jantung keduanya. Silvi mulai bernyanyi kembali. “ehh bukan! salah tuu..”
“biariin, ini versi gue kok” silvi tak mau mengalah. “eh nengel, salah itu!”
“nggak!”
“salah!”
Silvi diam. “ya.. ya suka hati lo la” bayu yang mengalah. Akhirnya keduanya tetap melanjutkan permainan musik mereka walaupun terdengar agak ngawur. Biarin yang penting happy! Begitu moto mereka. “um.. lo uda nggak takut lagi sama gue?” itu pertanyaan yang ditujukan untuk bayu. Bayu kewalahan dan kebingungan menjawab pertanyaan silvi. “gue bukan penakut kali” lagak bayu pura-pura orang paling berani, padahal aslinya.. hm mengharukan!

“sorry ya kalau selama ini saudara-saudara gue nakuti elo”
“ahh gue nggak takut kok”
cliiinggg! silvi menghilang begitu saja. “iyaa… iiyaa.. gue nyerah… gue penakut.. please jangan ilang mendadak gini dong” teriak bayu ketakutan. “tu kan! Jangan belagu lo!” cengir silvi. Bayu dan silvi sama-sama diam.
“lo kok nggak mau nakuti manusia?” kali ini bayu yang bertanya. “karena gue… gue… gue kepingin bisa bersahabat dengan manusia. Segala upaya uda gue lakui, nyatanya manusia masih takut sama gue..”
“gue mau kok jadi sahabat lo”
“hah?!”
Bayu mengangguk. Astaga.. mimpi apa gadis ini tadi siang. Sampai-sampai pemuda ini dengan mantapnya menyetujui permohonan silvi. Silvi menangis terharu. “bener lo mau jadi sahabat gue?” ucap silvi meyakinkan. Bayu mengangguk. Spontan gadis itu teriak-teriak dan tanpa sengaja ia memeluk bayu. Tapi tidak bisa! Sebab dia manusia bukan termasuk golonganya. “um.. maaf..” silvi menunduk malu. Ada rasa deg-degan di jantung bayu saat silvi tidak sengaja memeluknya. Bukan karena ia takut, tapi entah kenapa bayu merasa ada kenyamanan bila dekat dengan gadis ini.
Semua kembali hening. Mereka menatapi pohon dan rembulan disana. Sampai akhirnya bayu memberanikan diri untuk mengenalkan dirinya. “gue bayu. Disini rumah gue”
Silvi tersenyum. “gue silvi. rumah gue di suaka indah”
“hantu punya rumah?”
“lo ngeledek gue?” Bayu tercengir-cengir. “um… lo kenapa bisa jadi hantu?”
“gue ditabrak bay.” Bayu mengeritkan keningnya. “lah kok bisa?”
“yah bisa la!” silvi menarik nafas panjang “gue kecelakaan, nggak tahu deh siapa yang nabrak… emh.. bay kamu …” belum lagi silvi selesai bicara, dimas tiba-tiba ke luar dari rumah. “bayu? lo ngomong sama siapa tadi?”
Bayu kebingungan. Kalau dia berkata jujur, yang ada sahabatnya ini akan menduga dia yang nggak-nggak. Terpaksa bohong dikit deh. “gue habis buat drama, dim. Lo tahu sendiri kan gue orangnya dramatis!” dimas terpelongo bengong. “kenapa sih kawan gue yang satu ini” dimas menggeleng-gelelengkan kepalanya dan pergi masuk rumah.
“udah.. uda.. gih sana lo pulang, sil. Entar dicariin lagi!”
Silvi mengangguk dan tersenyum. duh melihat senyuman itu bayu jadi salah tingkah deh. “daaa..” ucap silvi sembari terbang dan meninggalkan bayu. “huh… coba aja satu dunia. Uda gue nikahi tu cewek!” gumamnya. Bayu kembali masuk dan melanjuti tidurnya.

Keesokan harinya..
Di Taman sekolah, bayu melihat sosok gadis yang mirip dengan silvi. Untuk meyakinkan pengelihatannya itu benar atau tidak, bayu mengucek-kucek matanya. “woii…” panggil bayu. “kamu manggil aku?” ucap gadis berambut panjang dan berponi. “ehh bukan, gue manggil cewek yang ada di belakang lo!” tunjuk bayu. Tidak ada siapa-siapa disana! Gadis itu menoleh ke belakang. “cowok aneh!” ucap gadis itu sembari pergi meninggalkan bayu.
“elo tu yang aneh! Uda jelas-jelas ada orang disini!”
“haaha.. haha.. haha.. rasain lo kan dibilangin cowok aneh!” ledek silvi. “gara-gara elo juga sih! oh ya, lo ngapain disini. Mau belajar juga? belajar apaan? Ilmu ngilang?”
“gue minta tolong sama lo, bay” silvi mulai bicara serius. Wajah bayu yang tadinya adem jadi kelihatan serius kaya nonton film action! “gue nggak bisa terus gentayangan gini. Gue minta tolong sama lo. Carikan jasad gue. Please…”
“hah?!” bayu terkejut bukan kepalang. Ada rasa takut juga harus melakukan hal konyol itu. Tapi mau bagaimana lagi, jika bayu tidak membantu silvi. Pasti gadis itu tidak akan bahagia di alamnya. Lama bayu termenung untuk memberikan jawaban sampai akhirnya silvi menangis di depannya. Tangisannya itu begitu memilukan. Bayu menarik napas panjang. “iya.. dimana lo ditabrak?”
“jalan patuan nagari, jembatan indah”
“gilaa itu serem banget, sil”
“gue temenin, bay. Please…” tiba-tiba silvi bisa memegang tangan bayu. “loh.. loh.. ada apa ini. Kok.. kok.. lo bisa nyentuh gue?”
“gue juga nggak tahu. Itu nggak penting, lo mau kan nolongin gue? Gue janji kalau lo bisa nemui jasad gue. Gue bahkalan nggak pernah lagi muncul di depan lo”
Bayu diam. Sebenarnya dengan tidak mencari jasad silvi pun bayu bahagia bersamanya. Setiap hari bisa melihatnya. Dia sudah terlanjur jatuh cinta dengan gadis itu. Walaupun kenyataanya perasaan itu jatuh pada orang yang sudah mati. “bay.. please..” ucap silvi terus menangis. Bayu mengangguk mau. “oke entar malam gue bahkalan nyari jasad lo” silvi tersenyum.

“kayaknya kawan kita memang sakit deh, dim” ucap gerald yang dari tadi memperhatikan bayu dari kejauhan. Dimas menggelengkan kepalanya.

Malam hari.. “lo mau kemana bay?” ucap dimas
“beli nasi goreng!” singkat bayu langsung pergi dengan motornya. Sesampainya di tempat yang mereka cari. Mata bayu terus mengamati persimpangan jalan dekat pepohonan hijau. “itu jasad lo ya?” tanya bayu. Silvi mengangguk dan tersenyum. “kuburkan ya, bay” ujar silvi.
Ngeri juga sih melihat jasadnya silvi. Tercium bau mayat yang sudah lama, apalagi ditambah luka darah di sekujur tubuhnya. Mau nggak mau bayu harus menolong gadis itu. Dengan mengendap-endap bayu membawa jasad silvi ke pedalaman jembatan indah. ia gali tanah di sekitar itu. Dan masukkan jasad silvi. Bayu menaburi bunga 15 bunga mawar putih tanda terimakasih karena sudah mengisi hari kesepiannya. Bayu bernapas lega.. silvi sudah tenang di alamnya. Entah sampai kapan dia tidak bisa bertemu lagi dengan gadis itu

“gue jatuh cinta sama lo, sil” desisnya.
“apa bay? Lo suka sama gue?!”
“Allahuakbar..” bayu terlepas seketika.
“lo kok bisa muncul, sil”
“gue kan mau nganterin lo pulang. Katanya lo takut”
Bayu tercengir. Jantungnya deg-degan saat itu. Silvi maju menghampiri bayu. Gadis itu kembali menangis, hari ini hari terakhirnya dia akan melihat laki-laki yang berhasil memikat hatinya. “terimakasih lo uda mau nolongi gue bay”
Astaga, disinilah.. disinilah pemuda maco itu ikut menangis masuk dalam kesedihan silvi. Bayu langsung memeluk silvi. “suatu hari nanti, gue bahkalan hidup dengan dunia yang sama, sil. Gue sayang sama lo” ucapnya
“gue juga sayang sama lo, bay!” silvi melepaskan pelukan bayu. Dengan perasaan sedih, takut, galau, gelisah campur aduk jadi urapan, akhirnya pemuda berwajah polos itu pergi meninggalkan jembatan itu. Disana termpatnya sangat rawan kecelakaan. banyak pengemudi tewas di tempat karena kecepatan di jalan ini cukup cepat. Alhasil dari arah belakang, mobil sedan menghantam sepeda motor bayu.
Bayu sempat dilarikan ke rumah sakit. Dimas dan gerald juga ada disana. Segala upaya dokter untuk menyelamatkan nyawa bayu sia-sia. Jantungnya tidak merespon untuk berdetak. Sampai beberapa jam kemudian, bayu meninggal dunia.

Di suatu tempat, bayu bertemu kembali dengan silvi. “kan gue uda bilang, kita bahkalan hidup di satu dunia” ucap bayu “untung aja lo nggak bunuh diri gara-gara kepingin ngejer cinta gue. Ye kan?”
“dasar! Kepedean!” bayu tertawa lepas sedangkan silvi tercengir-cengir kaya kuda habis kejepit. Hiiiikkk.. mereka hidup bersama satu kelurahan. Bayu juga bertemu dengan mantan pacarnya, mila. Sekarang mila justru menjalin asmara dengan lak-laki lain. Ahh bagi bayu itu tidak masalah! Tahu juga mila bahagia dengan pasangannya. Begitupun dengannya, dia bahagia dengan silvi.

Gadis Tepi Mulut Sumur


Gadis Tepi Mulut Sumur

Kami membisu di antara sebuah sekat. Sekat berupa benang merah tipis. Di balik sekat itu, ada kau yang terdiam seribu bahasa menjemput senja yang menyelimuti desa itu. Langkahmu tak hanya datang dari senja penuh kebisuan dan misteri itu. Juga di antara pekatnya kabut dini hari kau terendus oleh penciuman seorang pria garang dengan kepulan asap menemaninya. Langkahmu, tak terenduskan oleh siapapun di antara lelapnya mereka, hanya seorang pria yang berlari ketika aroma langkahmu tercium dan mematikan cerutu itu. Hingga kau terbenam bersama malam yang telah dijemput mentari.

Namanya sih tidak diketahui. Gadis berkepang, berkulit sawo mentah, dengan baju merah muda tengah terpaku menatap senja di tepi mulut sumur. Awalnya, aku hanya basa-basi tatkala aku tak sengaja lewat sumur desa itu dan melihat ia tersenyum pada senja yang menguasai angkasa di desa itu dengan pesona merah meronanya.

“Neng, awas jatuh ke sumur! Siapa yang menolongmu kalau kau jatuh?”.
Dia memalingkan pandangan ke arahku sejenak. Menari-narikan kakinya dan merunduk seraya tersenyum. Lama ia demikian hingga ia tiba-tiba melihatku dan tersenyum seraya mengangguk. Kembali ia melihat senja.
“Sudah mau petang. Pulanglah, Anak gadis. Tidakkah ayah ibumu mencari?”
Ia melihatku tanpa senyum di wajahnya. Lama ia menatapku hingga aku sendiri tak sanggup menahan tatapanku padanya. Aku memilih memalingkan mataku ke arah lain. Hanya angin bertiup yang kudengar di telingaku. Sesekali aku meliriknya, ia pun tersenyum dan mengangguk lagi.
Tak tahu maksudnya. Tak tahu pula apakah pertanyaanku sudah dijawab olehnya. Aku pergi meninggalkannya dan tak lagi memikirkannya.

Ketika aku sudah sampai rumah melihat ayah dan ibu sudah panik menungguku di teras rumah dengan wajah cemas.
“Kemana to, Le, Le?”
“Lah? Kan Mak yang suruh.”
“Wong cuma ke rumah sebelah kok lama. Apa yang menghentikan langkahmu sejenak?.”
Sejenak aku terdiam dan kembalilah memikirkan gadis di tepian sumur yang kutemui menjelang petang. Senyumnya, kebisuan yang membuatku bertanya-tanya dalam benak.
“Sudah tahu petang-petang banyak demit, masih beraninya pulang telat,” sahut ayah sembari mendengus kesal dan menghembuskan kepul cerutu. Matanya menatapku tajam.
“Lah, Pak, Mak. Tadi itu aku lama karena ketemu sama anak gadis hendak bunuh diri.”
“Eh! Bunuh diri? Siapa? Seperti apa ciri-cirinya?”
“Am… Masih gadis, rambut berkepang, kulit sawo matang. Jika diajak bicara, diam terus. Makanya aku tanyai itu, lamanya menunggu jawabannya. Toh, akhir-akhirnya hanya petanglah yang mengakhiri penantian jawabanku.”
“Lah, Buk, itu anak aneh yang kerap kita bicarakan dulu. Anaknya siapa juga nda tahu. Rumahnya mana pun tak tahu. Dulu, dia banyak dibicarakan warga desa. Dia bagaikan manusia senja.”
“Oh! Iya, Pak. Habisnya, dia itu hanya bisa ditemui di saat-saat senja begitu kok. Diam terus kan?”
Aku mengangguk sembari mengernyitkan kening. Aku menengok ke arah sumur itu.
“Tak usah digubris gadis itu. Takutnya itu utusan demit,” sahut ayah menghempas tatapanku.
Aku merunduk dan memutuskan masuk ke rumah. Menerbenamkan tubuh di sofa merah di depan TV. Aku menghadap ke TV, namun pikiranku terus mencari-cari siapa gadis itu. Yang jelas, gadis itu semakin menggali rasa penasaranku. Semakin mendalam. Sepertinya, penantian jawabanku yang sia-sia tak menerbenamkan niatku mencari tahu siapa dia.

“Le… Itu acara kesukaanmu to?”
“Nda bagus, Mak.”
“Lho? Biasanya serius nonton tuh. Ini? Ndak?”
Aku menggeleng-geleng. Memutuskan menyeruput kopi panas yang ibu hidangkan untuk dinikmati sembari nonton Tv bersama. Tradisi di gubuk ini memang begitu. Aku dan ibu menonton Tv, ayah sibuk dengan cerutunya dan duduk di teras, entah apa yang direnungkan sehari-harinya di luar sana. Hingga lolongan anjing semakin nyaring menjelang dini hari, ayah barulah masuk ke rumah tatkala kami semua telah beristirahat.
“Apa to, Le? Kepikiran siapa? Dibikin galau? Perempuan?”
“Endak lah, Mak. Memangnya aku menjalin hubungan dengan siapa?”
“Am… Dina? Anak sebelah. Cantik, ulet walaupun nda sekolah. Nasibnya juga sama-sama dengan kita. Melarat.”
“Terus, Mak?”
“Ya… Emak kan hanya menebak. Tapi, ya, sekalian membantu pikiranmu ke arah… Jodoh.”
“Nda, nda! Dina? Lah…”
“Kok kamu seperti kewalahan sama dia? Cewek kalem itu. Bapakmu, suka kamu sama dia. Katanya, cocok.”
“Cocok? Jauh dari kata cocok, Mak.”
Aku meninggalkan sofa merah dan menuju ke kamar. Temaram, pengap, sempit, berantakan, berdebu. Layaknya itu huniannya laba-laba dan nyamuk.

Aku telah melewatkan tradisi kami turun-temurun. Tv kini lebih sepi penonton. Bahkan, malam terasa lebih cepat menuju dini hari. Lolongan anjing yang biasa nyaring berbunyi di jam-jam dini hari, lebih cepat menjemput ayah untuk pergi ke pembaringan. Teras, Tv, sofa, sepi. Kopi yang biasanya tinggal ampas pun hanya sedikit berkurang, hingga dingin dan pagi menjemput, hanyalah lalat yang menyeruputnya. Dan hanya lalat yang menggenang mati di atas air hitam pada cangkir mungil itu. Aku telah membunuh makhluk itu karena telah meninggalkan tradisi ini walaupun hanya sekali.

“Kamu telah membunuh makhluk Tuhan,” ujar ibu tiba-tiba tepat di telingaku ketika aku duduk di teras menikmati embun pagi hari.
“Apa sih, Mak?”
“Lalat. Kamu telah membunuh satu lalat oleh karena kamu tak menghabiskan kopi yang ibu buat. Lihat!”, ibu menyodorkan kopi dingin yang digenangi seekor lalat, mati. Aku terdiam dan merunduk.
“Bukan saja membunuh lalat ya! Bisa-bisa kalau kau teruskan tingkahmu ini, ibu bisa seperti lalat dalam genangan kopi itu!”
Aku mendengus kesal mendengar omelan ibu itu. Sepertinya tradisi itu sudah setubuh dengan keluarga kecil melarat ini. Kopi, lalat, apa lagi?

Sore itu, ibu menyuruhku mengantar bekal berbuka ke rumah Dina. Katanya sih mau berbagi. Kenapa harus ke rumah Dina? Aku mengendus bau-bau perjodohan. Karena aku melarat, juga harus dengan yang melarat? Kecantikan Dina yang diakui kedua orangtuaku saja bagaikan wajah lalat yang mengambang pada kopi yang kuseruput. Pembawa laknat.

Ke rumah Dina memang agak jauh jalannya walaupun lewat jalan pintas, apalagi kalau tidak lewat jalan pintas. Sudah pasti jauh dan menguras banyak waktu.
Aku mengendap-endap lewat jalan panjang yang melewati sumur tempat aku bertemu gadis yang kata bapak sebagai utusan demit. Lagipula masih pukul 5 sore. Aku bergegas pergi dengan langkah yang lebih cepat sebelum petang memisahkan aku dan gadis itu.
Melewati sumur itu, masih banyak gadis-gadis mencuci baju disana. Suaranya memekik di telingaku.
“Mas Bram! Mau kemana, Mas?”, sahut salah satu gadis di antara 5 gadis disana. Lainnya tertawa manis menatapku.
“Mas, yang dibawa itu apa? Makanan? Kasih dong ke kita-kita. Nanti kita makan bersama ya, Mas.” Begitu yang kudengar. Hanya kubalas senyum. Aku bahkan malu akrab dengan mereka. Dewi, Ema, Lestari, Rara dan Sania. Mereka aktif dalam kegiatan pemuda. Dulu kerap kali menjemputku di rumah mengajak rapat karang taruna. Aku selalu bersembunyi di ranjang dan menyuruh ibuku untuk bilang aku tidur, capek. Mereka lalu pamit meninggalkan rumahku dengan mencibirku sepanjang jalan menuju tempat rapat.
“Mas, ingat ya! Besok kita rapat karang taruna ya. Mas Bram kami tunggu!”
“Calling calling, Mas kalau butuh dijemput kami berlima,” begitulah suaranya nyaring dari kejauhan. Kesal mendengar suara gadis-gadis lajang penggoda itu, melihat jarak sudah jauh dari mereka lalu aku berteriak,
“Bodo amat, Mblo!”
Lalu, tak kudengar lagi mereka berkata-kata padaku. Tapi, jelas kurasa, mereka mencibirku disana.

“Oh! Kamu ya… Itu apa?”
“Ini. Bekal buka dari ibuku. Buat kamu sekeluarga.”
“Am… Kok tumben memberi ke aku?”, tatapannya menyiratkan harapan.
“Mak ku tuh! Jangan tanya aku! Sudah ya, aku pulang.”
“Eh, Mas! Ayo, berbuka.”
“Sudah kenyang.”
“Lah… Hati-hati, Mas.”
Aku diam dan pergi meninggalkannya. Dari kejauhan, ia masih di depan pintu rumahnya. Menyaksikan langkahku yang semakin jauh darinya. Dan hilang bersama pepohonan tinggi menjulang itu.
Aku sedikit lebih cepat berlari. Mengejar waktu bertemu gadis itu. Namun, aku berhenti sejenak menyaksikan 5 gadis bodoh itu berjalan pergi meninggalkan sumur dan terdengar cibiran,
“Mas Bram itu lho! Ganteng ganteng apa nda doyan cewek ya?”
“Nda tau tuh! Nda bisa lihat ya kita yang cantik cantik begini? Tinggal milih lho.”
“Juteknya menyebalkan sekali. Masa sih kita ngomong baik-baik, manis-manis bagai madu, eh dijawabnya kasar banget. Masih mending cuma senyum, lah tadi…”
Lalu, perlahan mereka pun menjauh. Sudah kuduga mereka mencibirku tak habis-habisnya hingga berbusalah mulut mereka.

Ketika hendak melangkah ke sumur, aku terhenti tiba-tiba menyaksikan seorang gadis berbaju merah muda berjalan dari antara ilalang-ilalang dengan tangan kosong, tatapan kosong dan duduk di tepi sumur. Lalu, ia menatap ke angkasa tepat senja menjemput kehadirannya. Ia mulai menari-narikan kakinya dan tersenyum kecil. Tiba-tiba, ia menengok ke arahku yang saat itu diam-diam mengintainya. Menatapku tajam dan kesal.
“Am… Maaf, tidak bermaksud mau aneh-aneh padamu.”
Ia hanya diam dan mengangguk, tak lupa tersenyum.
“Begini. Aku hanya ingin menjadi temanmu saja kok. Bukankah kesepian itu menyedihkan?”
Dia menatapku dan bibirnya seperti hendak mengucap sesuatu yang benar-benar aku nantikan.
“Te… Tem…man?”
“Iya, teman. Temanmu.”
Lalu, dia sedikit minggir dan menepuk tepian mulut sumur seolah mempersilakanku untuk duduk menemaninya. Tanpa menunda, aku bergegas duduk di sampingnya. Bahkan, aku sudah tak menghiraukan bahwa aku sedang duduk di tepi sumur, tepi mulutnya bahkan. Yang kupikirkan, itu hanyalah bangku di tengah taman untuk kami duduk menyantap senja.
“Kok main kesini cuma waktu senja?”
Ia menggelengkan kepala dan merunduk.
“Selama ini, tidak adakah lelaki lain yang menemanimu disini selain… aku?”
Lalu, dia menggelengkan kepala dan tersenyum dengan indahnya.
“Kamu per…perta..ma”
“Rum… Rum.. Rumahmu?”, lalu dia menunjuk ke arah rumahku. Aku bahkan tak tahu mengapa tiba-tiba ia demikian.
Aku mengangguk. Dia tersenyum dan mengangguk.

Aku tersenyum lega. Memandang senja yang makin surut, aku menikmatinya. Menikmati suara lembut walau terbata-bata mendesing di telingaku. Terasa begitu hangat berada di sisinya walau angin berhembus dengan agak kencang. Menyapu dedaunan layu di antara rerumputan. Gemerisik ilalang bersenggolan satu sama lain semakin menambah harmonis suasana itu. Namun, tidak lama itu semuanya lenyap,

“Bram! Pulang! Jangan main ke sumur!”, ayah datang menjemputku dengan wajah marah. Tangannya menyeretku pergi dan kudengar gemerisik di antara ilalang-ilalang itu. Seperti suara seseorang berlari disana. Namun, genggaman kencang ayah hingga menyentuh denyut nadiku tak dapat melepaskanku untuk mengejar gadis itu. Aku tak ingat kapan ia berlari meninggalkan mulut tepi sumur itu. Ia hilang tatkala ayah menjemputku dengan amarah bersamaan petang menjemput desa itu menuju gelap malam.
“Anak tak bisa dipercaya!”, hentak keras ayah di teras membanting cerutunya. Ia membelalak menatapku terdiam di sofa di samping ibu yang mengelus pundakku agar tetap tenang.
“Kamu kenapa main di sumur itu, Le?” Tanya ibu menahan tangis melihat ayah yang perlahan dikuasai setan.
“Memangnya kenapa? Pulang telat sekali pun tak boleh? Mengapa?” Tanyaku berdiri menantang ayah. Tak biasanya aku seberani ini. Hanya saja, suatu jiwa yang tak kukenal menghasutku untuk melawan ayah. Aku mengendus bau darah anyir.
“Petang itu hari bagi demit berkuasa di desa ini! Apalagi di tepi sumur!”
“Demit? Sama sekali tidak beriman ya? Tidak adakah Tuhan di hatimu, Pak? Kok sama demit begitu mengagungkan?”
Suasana hening sejenak. Ayah mengisap cerutu lagi. Kepulnya menyengat di ruangan gubuk ini.
“Bukan begitu, Le. Petang tiba, kita harus di rumah. Kita harus melakukan tradisi kita sehari-hari. Ayah dengan cerutu dan terasnya. Ibu dan kamu menonton Tv sembari kamu menyeruput kopi sampai habis.”
“Wah! Tradisinya begitu diagungkan ya? Kopi, cerutu, kepul cerutu, Tv, teras, sofa. Bahkan lalat! Lalat? Diagungkan? Astaga! Pantas saja anaknya hendak dibawa menuju laknat!”

Semakin menyengat bau darah anyir itu, semakin ayah menatapku kejam layaknya hendak membunuhku, menikamku.
Dan di balik kepul cerutu ayah, muncullah sesosok gadis. Berkepang, berkulit sawo matang, namun kali ini baju merah mudanya dihiasi bercak darah, matanya merah, airmatanya pun darah. Dan tidak ada senyum yang terlukiskan di bibirnya. Hanyalah goresan goresan luka di tubuhnya. Anjing-anjing melolong lebih nyaring, ibu menangis demikian kencang, ayah terdiam membelalak tak berkedip tatkala sosok gadis itu berpindah di depannya dan berkata lirih,
“Ayah…”